Kamis 28 Jan 2021 02:40 WIB

Edukasi Menjadi Kebutuhan Hadapi Disinformasi

Tidak ada regulasi yang cukup cepat untuk mengikuti laju perkembangan teknologi.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yudha Manggala P Putra
Smartphone. Ilustrasi
Foto: Reuters
Smartphone. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN --  Peneliti Fisipol UGM, Joash Elisha Stephen Tapiheru menilai, influencer media sosial memainkan peranan yang penting dalam konflik dan upaya-upaya perdamaian. Kemunculan influencer ke ranah sosial media korelatif dengan penontonnya.

Ia melihat, 10 tahun terakhir terjadi lompatan signifikan dalam perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Lompatan ini tidak sekadar memfasilitasi perilaku manusia, namun mengubah cara berkomunikasi dan persepsikan komunikasi.

"Termasuk, mencari alternatif kebenaran dan sumber kebenaran alternatif. Kini terdapat kematian ideologi, kita menghadapi situasi saat kita memiliki sumber-sumber alternatif bagi kebenaran," kata Joash dalam FGD ASEAN Studies Center Fisipol UGM.

FGD sendiri merupakan kerja sama Aseian Studies Center Fisipol UGM dan ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (IPR). Mengangkat tajuk The Rjawole of ICT as a Tool in Mitigating Conflict and Fostering Peace.

Dr. Darmp Sukontasap dari ASEAN-IPR menuturkan, saat ini berita-berita palsu dapat menyebar 10 kali lebih cepat dibandingkan berita-berita benar. Ada pula kecenderungan tinggi masyarakat meyakini berita-berita belum jelas.

Untuk itu, harus sudah dipikirkan cara-cara mengatasi persoalan ini dan dampak negatif dari perkembangan teknologi seperti kejahatan siber. Menurut Darmp, diperlukan kombinasi antara regulasi yang baik serta edukasi bagi anak-anak.

"Tidak ada regulasi yang cukup cepat untuk mengikuti laju perkembangan teknologi informasi. Karena itu, kita perlu memberi edukasi dan pemberdayaan bagi anak-anak, dan itu harus dimulai saat ini juga," ujar Darmp.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement