Rabu 27 Jan 2021 20:14 WIB

Anies Jadi Alasan Normalisasi Pilkada di 2022 dan 2023?

PDIP memastikan mendukung pelaksanaan pilkada serentak di 2024.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Normalisasi masa pelaksanaan pilkada ke tahun 2022 dan 2023 lewat revisi UU Pemilu di DPR diduga diupayakan sejumlah partai agar bisa mengusung Anies di Pilpres 2024.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Normalisasi masa pelaksanaan pilkada ke tahun 2022 dan 2023 lewat revisi UU Pemilu di DPR diduga diupayakan sejumlah partai agar bisa mengusung Anies di Pilpres 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Antara

Draf revisi Undang-Undang Pemilu yang tengah disusun DPR mengatur soal jadwal pelaksanaan pilkada yang dikembalikan digelar di 2022 dan 2023. Padahal mengacu dari pelaksanaan pilkada serentak di 2020, maka seharusnya pilkada kembali digelar lagi pada 2024.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, menduga partai yang menginginkan agar pilkada digelar 2022 dan 2023 kemungkinan partai yang menginginkan Anies Baswedan jadi calon presiden di 2024. "Mungkin partai-partai yang ingin Anies jadi capres itu mendorong agar pilkada 2022 dan 2023 itu tetap ada," kata Qodari kepada Republika, Rabu (27/1).

Ia menilai partai-partai yang menginginkan agar pilkada digelar 2022 dan 2023 mempertahankan jagoannya masing-masing agar bisa eksis hingga 2024 melalui pilkada Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Namun demikian yang dinilai cukup menyita perhatian nasional adalah pilkada Jakarta, hal tersebut lantaran hanya Jakarta yang memiliki pilkada dengan rasa pilpres.

"Memang Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur penduduknya lebih banyak dibandingkan Jakarta, tapi eksposurnya tidak seluas Jakarta. Kalau Jakarta eksposurnya nasional," ungkapnya.

Berdasarkan aturan yang saat ini berlaku, Pilkada DKI Jakarta dijadwalkan kembali digelar 2022. Qodari menilai jika pilkada DKI Jakarta jadi digelar 2022 dan Anies kembali memenangkan pilkada DKI Jakarta, maka Anies masih punya panggung di pemerintahan.

"Misalnya Anies ya, di Jakarta kalau tidak ada pilkada maka kemudian Anies tidak menjabat di 2022-2024 begitu. Karena diisi oleh Plt," ujarnya. "Tetapi kalau Anies maju, dia dapat panggung pilkada, dan apabila menang terpilih kembali, maka akan punya panggung lagi di pemerintahan selama dua tahun," imbuhnya.

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tanjung, membantah bahwa RUU Pemilu memberikan perlakuan khusus terhadap provinsi atau kabupaten tertentu. Menurutnya RUU Pemilu berlaku untuk semua.

"Nggak lah, UU (UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada) ini kan dibuat 2016, sementara Pilkada DKI itu 2017, jadi nggak nyambung gitu loh," tegasnya.

Kepala Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, menyatakan Partai Demokrat menyetujui pilkada digelar di 2022 dan 2023. "Demokrat setuju normalisasi penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu, termasuk di dalamnya Pilkada DKI digelar pada 2022," kata Herzaky.

Ia menjelaskan, pilkada merupakan momentum bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu ia melihat perlu ada waktu dan kesempatan cukup bagi masyarakat untuk mendalami dan memahami sosok dan jejak rekam para calon kepala daerahnya, sebelum memutuskan pilihannya.

"Masyarakat mesti memiliki kesempatan mengetahui dan mempelajari visi, misi, dan program kerja dari tiap kepala daerah," ujarnya.

Menurutnya jika pilkada digelar serentak dengan pilpres, maka momentum untuk mencari kepala daerah berkualitas akan sulit lantaran euforia pileg akan tenggelam dengan pilpres. Sebab ia menilai pilpres memiliki daya magnet yang luar biasa ketimbang pileg.

"Keserentakan pilpres dan pileg di 2019 lalu, memberikan contoh nyata bagaimana pileg tenggelam di tengah hiruk pikuk pilpres. Begitu juga kemungkinan nasib Pilkada yang bakal dilaksanakan berdekatan dengan pilpres," tuturnya.

Ia juga menambahkan, jika pilkada digelar serentak dengan pilpres pada 2024 maka pertarungan di pilkada pun bisa jadi bukan lagi politik gagasan, melainkan kompleksitas kompetisinya bisa memunculkan godaan melakukan tindakan-tindakan ilegal seperti politik uang, politik identitas, maupun penyalahgunaan kekuasaan. "Apalagi jika kita mempertimbangkan lamanya masa jabatan penjabat kepala daerah di sebagian besar wilayah Indonesia jika Pilkada 2022 dan 2023 ditunda ke tahun 2024," ungkapnya.

Demokrat mengingatkan bahwa demokrasi merupakan proses bersama. Oleh karena itu apapun kesepakatannya antarparpol di parlemen sebaiknya dikedepankan. "Jangan sampai pula, ada pihak-pihak yang memaksakan Pilkada Serentak 2024 hanya karena ada kepentingan pragmatis atau agenda terselubung yang tidak pro rakyat, bahkan merugikan rakyat. Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement