Rabu 27 Jan 2021 18:27 WIB

Cerita Para Pemilik Warteg Bertahan di Tengah Pandemi

Warteg yang berlokasi di daerah perkantoran paling merasakan dampak pandemi.

Penjual melayani pembeli di Warteg City Bahari, Rawa Belong, Jakarta, Ahad (24/1/2021). Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) menyatakan, sekitar 50 persen atau 20.000 unit warteg di Jabodetabek akan gulung tikar tahun 2021 ini, hal itu disebabkan karena tidak mampu untuk membayar atau memperpanjang sewa tempat
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Penjual melayani pembeli di Warteg City Bahari, Rawa Belong, Jakarta, Ahad (24/1/2021). Komunitas Warteg Nusantara (Kowantara) menyatakan, sekitar 50 persen atau 20.000 unit warteg di Jabodetabek akan gulung tikar tahun 2021 ini, hal itu disebabkan karena tidak mampu untuk membayar atau memperpanjang sewa tempat

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Eva Rianti, Antara

Pandemi menghantam usaha warteg milik Tasori (47 tahun) terlalu dalam. Tasori sudah berupaya untuk bertahan, tapi gagal. Ia akhirnya terpaksa menutup warteg miliknya yang berlokasi di Jalan Kartini, Sawah Besar, Jakarta Pusat, sejak Juni tahun lalu.

Baca Juga

"Dulu, di situ usaha sangat hidup. Konsumen saya itu 70 persen pekerja kantoran dan 30 persen warga sekitar. Tapi, sejak pandemi kan perkantoran pada tutup," kata Tasori kepada Republika, Rabu (27/1).

Seiring mulai menurunnya omzet, Tasori pun mulai memecat tiga pekerjanya pada masa awal pandemi atau sekitar April 2020. "Yang kerja tinggal saya dan istri saja saat itu," ujarnya.

Penghematan semacam itu ternyata tak cukup untuk menyelamatkan Warteg Berkah miliknya dari badai virus corona. Tasori mulai kehilangan akal ketika pemilik tempat meminta biaya sewa yang nilainya Rp 43 juta per tahun. "Makanya saya tutup saja sejak Juni 2020. Padahal, saya sudah tiga tahun jualan di sana," kata dia.

Untuk bertahan hidup di Ibu Kota, Tasori kini mengandalkan warteg juga miliknya yang berlokasi di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ia bersama sang istri fokus mengelola warteg yang dimakan Hidayah Bahari itu.

Meski Tasori masih bisa bertahan, tidak semua rekan-rekannya mampu bertahan. "Teman saya yang jualan warteg di Jakarta Selatan ini sudah ada tujuh orang yang tutup gara-gara corona," kata dia.

Sebagian warteg tumbang alias tutup total, ada pula yang sekarat. Salah satu yang sekarat itu adalah Warteg CBN yang berlokasi di Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat.

Dian (38 tahun), pemilik warteg CBN, mengaku omzetnya anjlok 70 persen sejak pandemi Covid-19. Alasannya, karena tak ada lagi karyawan perkantoran yang makan di tempatnya. "Sekarang orang WFH, jadi tidak ada lagi yang makan," kata dia.

Namun, Dian mengaku, masih bisa bertahan kendati setiap tahun harus membayar kontrak kios Rp 60 juta. "Ya cara saya bertahan dengan ngurangin setengah karyawan sejak April dan juga ngurangin belanja bahan baku," kata dia.

Namun, Dian tak tahu sampai kapan ia bisa bertahan dengan kondisi seperti ini. Ia juga tak punya alternatif usaha lain. "Ya, harapan kita sekarang agar virus corona ini segera selesai, lah. Orang pada ke kantor dan makan di sini lagi," ucapnya.

Lain cerita dengan Warteg Mitra Rasya milik Puri (34) di Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, yang masih bisa bertahan. Ia bersyukur penurunan omzetnya tak terlalu signifikan.

"Tetap turun walau hanya 30 persen. Tapi, alhamdulillah, kita masih stabil bisa bertahan," kata dia.

Puri menjelaskan, omzetnya tak menurun drastis karena wartegnya tak terlalu bertumpu kepada pegawai kantoran. Pelanggannya kebanyakan adalah mahasiswa karena lokasi warteg milik Puri tak jauh dari kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

"Saya alhamdulillah belum ada rencana buat tutup. Tapi, kalau pengusaha warteg lain saya dengar memang banyak sudah tutup karena corona ini," ujarnya.

Bukan hanya pengusaha warteg di Jakarta yang tertekan akibat pademi. Pemilik warteg di Kabupaten Tangerang juga merasakan penurunan drastis pendapatan, bahkan tidak sedikit yang menutup warungnya karena tidak kuat melanjutkan usaha.

Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara) Korwil Kabupaten Tangerang mencatat, penurunan pendapatan pemilik warteg di Kabupaten Tangerang mencapai 80 persen. Hal itu terutama dialami oleh para pemilik warteg yang lokasi usahanya di area perkantoran atau pabrik.

“Penurunan omzetnya banyak. Rata-rata penurunannya dari 50 persen sampai 80 persen. Kan kadang tergantung lokasi juga ya, misal, dekat dengan kantor atau pabrik, kan di Tangerang banyak kawasan industri, itu otomatis sudah nggak kuat, penurunannya sangat signifikan,” kata Ketua Kowantara Korwil Kabupaten Tangerang Rojikin Manggala saat dihubungi Republika, Rabu (27/1).

Lebih rinci, Rojikin mengatakan, rata-rata pendapatan pemilik warteg di sekitar perkantoran atau pabrik dalam kondisi normal bisa mencapai Rp 3 juta per hari. Namun, karena kondisi pandemi Covid-19, pendapatan terjun bebas di kisaran Rp 500 ribu. Dia berujar, pendapatan yang merosot semakin dirasakan oleh para pemilik warteg seiring dengan terus diperpanjangnya pemberlakuan PSBB oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang.

“Karyawan kan nggak ada, atau sebagian karyawan dirumahkan, kemudian yang kerja pun menggunakan katering karena mungkin menghindari kerumunan. Otomatis warteg di sekitaran pabrik konsumennya nggak ada, berkurang sangat banyak,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement