Rabu 27 Jan 2021 00:30 WIB

Gapero Sebut Peredaran Rokok Ilegal Kian Marak

Kerugian negara akibat rokok ilegal mencapai ratusan miliar rupiah.

Rep: Novita Intan/ Red: Satria K Yudha
Barang bukti jutaan batang rokok ilegal berikut awak truk pengangkut yang diamankan petugas gabungan Bea Cukai kanwil Jawa Tengah dan DIY dengan Bea Cukai Semarang, di gerbang Tol Kali Kangkung, Semarang, Sabtu (2/1) lalu.
Foto: istimewa
Barang bukti jutaan batang rokok ilegal berikut awak truk pengangkut yang diamankan petugas gabungan Bea Cukai kanwil Jawa Tengah dan DIY dengan Bea Cukai Semarang, di gerbang Tol Kali Kangkung, Semarang, Sabtu (2/1) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) menyebut peredaran rokok ilegal semakin marak di Indonesia. Menurut kajian Gapero, jumlah rokok ilegal yang beredar sepanjang 2020 mencapai 4,48 persen atau meningkat dari 2019 yang sebesar tiga persen. 

Ketua Gapero Surabaya Sulami Bahar mengatakan, peredaran rokok ilegal sudah mengakar, sehingga perlu penanganan yang masif dan sistematis dalam menyelesaikan masalah ini. Apalagi, rokok ilegal merugikan banyak pihak.

“Ada masyarakat yang terancam dengan efek buruk rokok ilegal, serta kami para pelaku industri dan petani yang mengalami ketidakadilan persaingan di pasar,” kata Sulami, Selasa (26/1). 

Sulami bahkan memprediksi akan terjadi percepatan pertumbuhan rokok ilegal pada tahun ini. Menurut perkiraannya, persentase rokok ilegal bisa naik hingga enam persen. 

Ia menambahkan, rokok ilegal juga menjadi penyebab kerugian pendapatan negara dan menghambat berkembangnya industri rokok nasional. Data resmi Kementerian Keuangan menunjukkan, kerugian negara dari barang hasil penindakan (BHP) rokok ilegal diperkirakan mencapai Rp 339,18 miliar per November 2020. Nilai ini meningkat drastis dibandingkan 2019 yang sebesar Rp 247,64 miliar.

“Maraknya peredaran rokok ilegal di Indonesia tak lepas dari harga rokok yang dianggap semakin mahal di pasaran," kata dia. 

Sulami mengatakan, tarif cukai rokok mengalami kenaikan sebesar 12,5 persen pada 2021. Selain itu, klasifikasi tarif cukai yang semakin disederhanakan juga menyebabkan produsen rokok golongan II dan III tidak mampu bersaing. Menurut dia, kondisi tersebut mengurangi produksi rokok bagi masyarakat kelas menengah dan bawah, khususnya di daerah. 

Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno menilai kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) merupakan hal lumrah, asalkan kenaikan tersebut disesuaikan dengan kondisi daya beli masyarakat. Untuk memberantas peredaran rokok ilegal, politikus PDIP tersebut mendorong pemerintah untuk terus melakukan penegakan hukum. "Kuncinya penegakan hukum," kata dia. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement