Rabu 27 Jan 2021 06:30 WIB

Meneguhkan Sikap Moderat Bagi Muslim Milenial

Islam moderat merupakan representasi Islam yang haqq (kebenaran yang dapat dipertangj

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Petugas beraktivitas di area tempat ibadah Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (8/1). Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar untuk sementara Masjid Istiqlal belum dibuka untuk umum meski renovasi masjid Istiqlal telah diresmikan Presiden Joko Widodo pada Kamis (7/1) guna mengantisipasi kerumunanan mengingat kapasitas masjid istiqlal mampu menampung hingga 200 ribu jemaah. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas beraktivitas di area tempat ibadah Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (8/1). Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar untuk sementara Masjid Istiqlal belum dibuka untuk umum meski renovasi masjid Istiqlal telah diresmikan Presiden Joko Widodo pada Kamis (7/1) guna mengantisipasi kerumunanan mengingat kapasitas masjid istiqlal mampu menampung hingga 200 ribu jemaah. Republika/Thoudy Badai

 CIREBON, Suara Muhammadiyah -- Situasi lalu-lintas arus informasi yang serba terbuka menjadi salah satu tantangan generasi milenial. Tanpa sikap moderat dalam mengkonsumsi informasi, generasi muda akan mudah terjebak menjadi ekstrem.

Tema ini diangkat dalam webinar nasional Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Cirebon, 25 Januari 2021. Webinar ini menghadirkan Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Dadang Kahmad MSi, wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Dr Hamim Ilyas MAg, dan Kaprodi IAT FAI UMC Dr Toto Santi Aji MAg.

Dadang Kahmad menjelaskan bahwa sikap moderat merupakan jati diri Islam, yang merupakan hasil interpretasi dari Al-Qur’an dan Hadis. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat ummatan wasathan (Al-Baqarah: 143), ummat muslimat (Al-Baqarah: 128), dan ummat wahidah (Al-Baqarah: 213, Al-Anbiya: 92), khairu ummah (Ali Imran: 110), ummat qaimat (Ali Imran: 113), ummat muqtashidat (Al-Maidah: 66). Moderasi dalam Al-Qur’an disebut dengan wasathiyyah, diambil dari kata ummatan wasathan. Secara kebahasaan, wasath adalah posisi tengah di antara dua sisi yang bersebelahan, keseimbangan atau tawazun.

Menurut Dadang, ummatan wasathan akan mengedepankan sikap menghargai perbedaan. Keragaman atau kebhinekaan merupakan sesuatu yang niscaya. Dadang menyebut keragaman atau pluralitas di kalangan umat Islam tercermin dalam bidang akidah, ibadah, hingga tasawuf. Dalam bidang aqidah ada Asy’ariyah, Qadiriyah, Jabariyah, Mu’tazilah, Maturidiyah, dst. Dalam bidang Ibadah ada Mazhab Hanafi, Hanbali, Maliki, Syafii, dst. Dalam tasawuf ada Qodiriyah, Naqsabandiyah, Satariyah, dst.

Dadang menyebut ada beberapa ayat yang dapat dijadikan landasan. Al-Hujurat ayat 13, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Ada juga, Al-Ma’idah ayat 48, “Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”

Hamim Ilyas menyatakan bahwa dalam perpektif tafsir al-Qur’an, Islam moderat merupakan representasi Islam yang haqq (kebenaran yang dapat dipertangjungjawabkan)  karena merupakan perwujudan dari hakikat Islam Rahmatan lil ‘Alamin dan penjabarannya dalam doktrin tentang peradaban (Islam kaffah) dan akidah yang kuat (kalimah thayyyibah). Doktrin Islam Rahmatan lil ‘Alamin didasarkan pada Q.S. al-Anbiya’, 21: 107.

Di awal dakwah Islam, kata Hamim, umat Islam menghadapi berbagai siksaan dan Nabi sendiri bahkan dituduh sebagai penyihir dan orang gila. Ajaran yang dibawa Nabi dituduh membawa perpecahan. Surat al-Anbiya’ turun untuk merespons propaganda dan provokasi itu dengan memberi pernyataan sangat tegas dalam ayat ke-107 bahwa risalah Nabi Muhammad diturunkan tiada lain kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan untuk memecah belah keluarga-keluarga Arab.

“Pernyataan itu sekaligus juga menunjukkan bahwa paganisme Arab dan agama-agama lain yang ada ketika itu yang mitis dan dekaden, tidak bisa menjadi rahmat bagi bangsa Arab khususnya dan bangsa manusia pada umumnya,” tutur dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dalam ayat ke-107 Surat al-Anbiya’ di atas, ada kata illa rahmah yang secara gramatikal menjadi keterangan alasan dan tujuan (maf’ul li ajlih) dari risalah Islam yang diwahyukan kepada dan didakwahkan oleh Nabi Muhammad. “Keterangan itu berarti bahwa risalah Nabi (Islam) itu diwahyukan karena rahmah dan untuk mewujudkan rahmah Allah. Rahmah) adalah riqqah taqtadhi al-ihsan ila al-marhum. Kelembutan yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi,” kata Hamim mengutip Lisan al-Arab.

Menurut Hamim Ilyas, ada dua batasan dalam pengertian ini kelembutan (riqqah) dan memberikan kebaikan  nyata  (ihsan). Jadi rahmah merupakan konsep cinta yang aktual, cinta dengan pengertian memberikan kebaikan nyata kepada yang dicintai. “Kebaikan nyata adalah kebaikan yang memenuhi kebutuhan sehingga al-Mawardi menyebutkan  pengertian rahmah adalah an-ni’mah ‘ala al-muhtaj, anugerah untuk orang yang membutuhkan.”

Toto Santi Aji menyatakan bahwa era internet membawa dampak negatif, antara lain: menanamkan kebencian terhadap orang lain dengan mengunggah kata-kata atau gambar yang tidak pantas, menjadi sarana caci maki dan provokasi, juga berdampak kepada hubungan suami istri yang buruk, memicu kecemburuan, ketidakharmonisan hingga perceraian. “Membuat orang-orang lebih bersifat individualistis, kecanduan internet, menimbulkan konflik, masalah privasi, rentan terhadap pengaruh-pengaruh buruk.” Melahirkan juga laku berdusta dan menyebarkan kebohongan, bergunjing dan menyebarkan aib orang lain.

Dampak negatif lainnya, kata Toto, adalah terjadinya perubahan sosial dengan munculnya kelompok–kelompok sosial yang mengatasnamakan agama, suku, dan perilaku tertentu. “Smartphone dan internet juga mempermudah bermaksiat. Pergaulan bebas di era milenial melewati ambang batas,” ujarnya. Ada juga dampak adu domba dan provokasi terhadap umat Islam, antar-Ormas Islam, antara pemerintah dan rakyat.

Toto melihat bahwa era keterbukaan melahirkan beragam sikap keagamaan, (1) sikap ekstrim yang cenderung mengedepankan sikap keras, kaku dan fanatisme yang berlebihan, (2) sikap kelompok liberalis yang sering memahami ajaran agama dengan sangat longgar, bebas, bahkan keluar dari kerangka kebenaran agama, (3) sikap moderat (wasatiyah), yaitu sikap pertengahan, yang membentuk sikap sadar untuk mewujudkan kedamaian dunia, tanpa kekerasan atas nama golongan, ras, ideologi bahkan agama. (4) sikap awam, mereka yang jauh dari pendidikan agama, antipati dan tidak peduli terhadap agama.

Sikap moderat melahirkan rahmatan lil alamin. “Quraish Shihab menafsirkan yakni umat pertengahan: moderat dan tauladan. Umat Pertengahan (Wasatan) berarti posisi menengah di antara dua posisi yang berlawanan. Misalnya, keberanian adalah pertengahan antara sifat ceroboh dan takut, kedermawanan adalah posisi menengah di antara boros dan kikir,” ujar Toto.

Sebagai solusi supaya tetap menjadi pemuda yang moderat, Toto menyebut bahwa kita bisa mengikuti jejak dan langkah Rosulullah dalam menghadapi kondisi jahiliyah dengan pola tahapan turunnya ayat sebagai etape pembentukan umat: dimulai dengan Pembinaan surat al-A’laq (Sikap Aqidah & Syari’ah berdasar Ilmu); Pembinaan surat al-Muzzammil (Kekuatan Sholat Malam: Energi Spiritual); Pebinaan surat al-Muddatstsir (Perubahan diri & Sikap Da’wah); Pembinaan surat al-Qolam (Sikap keberpihakan); Pembinaan surat al-Lail (Kepekaan Sosial & Keikhlasan : Saling membantu dan Melindungi).

Pembinaan awal yang dilakukan Rasulullah di Mekah menitikberatkan pada aspek aqidah dan dimensi ruhiyah, yang menjadikan hati sebagai faktor penting. “Sekiranya khusyuk hati jiwa orang ini, tentulah khusyuk segala anggota tubuhnya.” (HR Al Hakim, At-Turmudzy dari Abu Hurairah dalam Al-Jami’ush Shaghir 2: 108). “Karena Hati adalah Raja. Oleh karena itu muatan tentang Tauhid, kekuasaan Allah, hari akhir, surga, neraka dan hal-hal yang sifatnya spiritual begitu kental dalam ayat-ayat makiyah, yang ditanamkan kedalam hati para shahabat,” tukas Toto Santi Aji. (ribas)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement