Selasa 26 Jan 2021 08:31 WIB
Realitas Ilmu Pengetahuan, Public Policy, dan Kalkulasi Bisnis

Mengapa Vaksin Covid-19 Telat Ditemukan?

Mengapa peradaban super modern ini gagal mengantisipasi datangnya Covid-19?

Denny JA, Konsultan Politik
Foto: denny ja
Denny JA, Konsultan Politik

Oleh : Denny JA, Akademisi/Konsultan Politik/Kolomnis

REPUBLIKA.CO.ID --- Kita pun mengalami  peristiwa bersejarah. Ekonomi dunia merosot, terbesar sejak Great Depression tahun 1930an. (1) 

Jumlah orang miskin bertambah. Pengangguran melimpah. Kualitas hidup terjun bebas. Berbulan- bulan jutaan manusia terkurung di rumahnya, di rumah sakit. Isolasi mandiri. Juga diisolasi oleh petugas.

Baca Juga

Di akhir Januari 2021, jumlah yang terpapar virus corona di seluruh dunia melampaui 100 juta.

Pertanyaan itu berulang- ulang bergema. Mengapa peradaban super modern ini gagal mengantisipasi datangnya Covid 19? Mengapa tak ada persiapan mencari vaksin bagi Covid 19 sejak jauh hari?

Bukankah jika peradaban berhasil mengantisipasi dan menciptakan vaksin jauh hari sebelum datangnya Covid-19, tak perlu kita melewati tragedi sejarah ini?

Kitapun masuk ke dalam realitas ilmu pengetahuan!

Betapa di abad 21, penemuan dalam ilmu pengetahuan, tak lagi hanya tergantung dari kecintaan dan sentimen publik pada science. Tak lagi hanya tergantung pada militansi dan visi pada ilmuwan.

Ilmu pengetahuan juga tergantung pada public policy. Science juga tergantung pada kalkulasi bisnis.

Ilmu pengetahuan memang tak pernah hadir di ruang kosong. Aneka relasi kekuasaan di luar ilmu pengetahuan ikut menentukan.

-000-

Berapa besar biaya diperlukan untuk kerja ilmu pengetahuan? Public policy bagaimana yang kondusif bagi penememuan ilmu.

Kita mulai dengan kasus Higgs Boson.

Penemuan terbesar dekade ini!  Di antara 10 penemuan terbesar,  ia menempati rangking paling atas. Begitulah respon komunitas ilmu, terutama fisika, menyambut ditemukan dan dibuktikannya  eksistensi Partikel Tuhan atau Higgs Boson di tahun 2012. (2)

Di tahun 2013, setahun setelah pembuktian itu, Peter Higgs, sang teoritisi, mendapatkan hadiah Nobel di bidang ilmu fisika.

Bukan penemuan itu saja yang penting. Tapi proses penemuan ini menggambarkan realitas ilmu pengetahuan di abad 21. 

Untuk sebuah eksperimen ilmu pengetahuan berskala besar di masa kini, tak hanya dibutuhkan seorang atau beberapa orang jenius. Tak ada yang bisa dibuktikan sang jenius jika ia hanya merenung dari ruang kerja kecilnya.

Penemuan dan pembuktian ilmu alam ini membutuhkan tim besar. Apalagi, ia  membutuhkan dana yang teramat dan sangat besar. Dibutuhkan pula public policy,  bahkan dukungan beberapa negara sekaligus.

Peter Higgs, seorang teoritisi fisika, di tahun 1960an ia mengembangkan sebuah model. Temuannya ini  disebut Higgs mechanism. Asal usul alam semesta, ekpansinya, keseimbangannya, hanya bisa terjadi jika hadir satu partikel.

Partikel yang diteorikan oleh Higgs begitu meyakinkan. Partikel inipun dijadikan bagian dari sebuah model yang lebih besar: Standard Model of Particle Physics (SMPP)

Melalui SMPP inilah aneka temuan dan penjelasan soal alam semesta, terjadinya bintang, bumi hingga lahirnya manusia, bisa masuk akal. Tapi benarkah partikel yang diasumsikan Higgs itu, Higgs Boson itu, Partikel Tuhan itu, memang ada?

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement