Selasa 26 Jan 2021 06:00 WIB

Setiap Malam Orang Indonesia Ngelonin 'Istri Belanda'

Kelonan bareng Istri Belanda jadi media berfantasi melawan sepi bagi para pria Eropa.

Para aparat kolonial Belanda dengan para gundiknya di Batavia tahun 1900-an.
Foto: Ricky Bay/Gahetna.nl
Para aparat kolonial Belanda dengan para gundiknya di Batavia tahun 1900-an.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu

Siapa yang tidak bisa tidur tanpa memeluk guling? Bagi rakyat Indonesia, guling adalah benda yang nyaris mustahil absen ada di atas kasur. Bagi sebagian besar orang, memeluk guling saat tidur akan menambah rasa nyaman. Lantas, sejak kapan guling menjadi teman tidur orang Indonesia?

Guling saat ini memang menjadi benda yang lumrah dimiliki semua kalangan. Harganya juga tak mahal. Mulai dari berbahan kapuk, busa, sampai bulu angsa. Namun, tidak semua orang di abad 18 dan 19, memiliki guling. Barang ini hanya dimiliki kaum bangsawan, baik dari bangsa Eropa, atau pun pribumi.

Mendaras sejarah guling, mari kita mundur ke periode 300 tahun ke belakang, saat Indonesia masih berjuang mengusir para bangsa kulit putih yang menjajah negeri tercinta kita ini. Saat itu orang-orang Belanda datang ke negeri koloni tanpa didampingi kekasih atau istri.

Mereka yang tiba di Indonesia untuk urusan pekerjaan di berbagai sektor; pemerintahan, pelabuhan, sampai serdadu berpangkat rendah, merasa kesepian lantaran bertahun-tahun merantau di tanah jajahan. Untuk membunuh rasa kesepian di Indonesia itu, mereka yang memiliki harta akan mendatangkan istri atau kekasihnya dari Belanda atau negara Eropa lainnya. Persoalannya, ongkos mendatangkan istri, kekasih, atau perempuan dari Belanda sangatlah mahal.

photo

Bagi pria Eropa yang hanya memiliki sedikit uang, mereka akan pergi ke rumah-rumah bordil untuk menyewa (maaf) gundik guna melepaskan hasrat biologis. Tak jarang mereka juga memelihara gundik yang diambil dari rumah bordil. Dari hubungan transaksional atau terlarang itulah lahir anak campuran yang dikenal dengan istilah Indo.

Seperti tertulis dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim China, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC (1988), karya Leonard Blusse, anak laki-laki Indo itu banyak yang bekerja di pemerintahan kompeni. Malangnya, tidak sedikit anak perempuan Indo yang terjerembab di dunia pergundikan.

Untuk para pria Belanda yang enggan berurusan dengan rumah bordil, mereka akan menikahi wanita pribumi yang disebut Nyai. Namun, meski berstatus istri, hanya hitungan jari Nyai yang beruntung karena diperlakukan setara dengan warga Eropa oleh suami Belandanya.

Penjajah tetaplah penjajah. Pria-pria Belanda memperlakukan Nyai layaknya pembantu. Meski berstatus suami istri, hubungan mereka tetap layaknya majikan dan budak.

Para Nyai dianggap seperti pembantu, yang bertugas mengurus keperluan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, dan mencuci pakaian. Bedanya, para Nyai memiliki tugas lemburan; menemani suami Belanda mereka di atas ranjang kala malam. Kehidupan para Nyai itu pun melekat hingga sekarang, jika seorang istri hanya berurusan dengan tiga hal; dapur, sumur, dan kasur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement