Senin 25 Jan 2021 18:38 WIB

Kegagalan Tracing di 11 Bulan Penanganan Pandemi

Jumlah kontak yang bisa ditelusuri dari tiap pasien Covid belum penuhi standar WHO.

Petugas medis membantu pasien Covid-19 memasuki mobil ambulans. Sesuai standar WHO seharusnya dari tiap pasien positif Covid-19 dilakukan upaya tracing atau penelusuran ke minimal 30 orang yang kontak dekat.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas medis membantu pasien Covid-19 memasuki mobil ambulans. Sesuai standar WHO seharusnya dari tiap pasien positif Covid-19 dilakukan upaya tracing atau penelusuran ke minimal 30 orang yang kontak dekat.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Idealisa Nasyrafina, Sapto Andika Candra

Upaya 3T yaitu testing (tes), tracing (pelacakan), dan dan treatment (tindaklanjut) menjadi salah satu langkah yang harus dilakukan untuk memutus mata rantai penularan virus corona SARS-CoV2 atau Covid-19. Langkah melacak pasien Covid-19 dan orang-orang yang melakukan kontak dekat dengannya namun belum memenuhi standar WHO. Akibatnya, upaya memutus mata rantai penularan Covid-19 sulit tercapai di Tanah Air,

Baca Juga

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui kemampuan pelacakan pasien Covid-19 belum memenuhi sasaran sesuai standar WHO. Badan dunia tersebut mensyaratkan satu pasien terkonfirmasi positif, maka harus bisa melacak 30 kontak erat.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Ditjen P2P Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan, dalam satu kasus positif terkonfirmasi Covid-19 kemudian kemudian harus dilakukan penelusuran kontak erat untuk memutus rantai penularan virus. "Namun, secara epidemiologi rasio tracing Indonesia belum memenuhi sasaran. Jadi kami paling banyak bisa melacak 10-15 orang kontak erat padahal WHO bilang 30," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (25/1).

Sebab, dia melanjutkan, kemampuan mengingat seseorang termasuk pasien terkonfirmasi tidaklah mudah. Termasuk dalam sehari bepergian ke mana saja dan bertemu dengan siapa saja.

Ia pun mengakui kemampuan tracing memang harus diperkuat. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi, tidak hanya mengandalkan wawancara.

Nadia menyebutkan, di negara-negara luar upaya pelacakan dilakukan lewat bantuan teknologi ponsel. Misalnya posisi lokasi orang yang dilacak dicari dan dipetakan. Cara tersebut telah dilakukan di Korea Selatan.

Kendala pelacakan tapi tidak hanya masalah teknologi. Ia menyebutkan ketika melacak kontak erat dan ketika dicurigai tertular virus maka kontak erat harus menjalani pemeriksaan swab Polymerase Chain Reaction (PCR).

"Sementara untuk periksa PCR kan antre, ada yang 4 hari bahkan 10 hari baru keluar hasilnya. Padahal, orang yang dites itu bisa jadi orang tanpa gejala dan dia sudah jalan-jalan ke mana, berhubungan dengan orang lain kan," katanya.

Akibatnya, penularan virus ini tidak bisa diputus. Ia mengakui kemampuan Indonesia masih sangat bergantung pada laboratorium hingga kemampuan untuk memeriksa realtime PCR.

Beruntung, WHO 3 bulan lalu memperbolehkan rapid antigen untuk diagnostik. Oleh karena itu, Kemenkes memperluas pemeriksaan dengan mengirimkan rapid antigen ke seluruh pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Tanah Air. "Ini sedang proses pendistribusian rapid antigen ke seluruh puskesmas," ujarnya.

Rencananya, dia menambahkan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) akan keluar pekan depan mengatur penggunaan rapid antigen ini. Ia menambahkan, payung hukum ini penting karena Kemenkes tidak bisa mengedarkan rapid antigen tanpa ada aturan. Setelah aturan dibuat, pihaknya butuh waktu untuk pendistribusian.

"Diharapkan akhir Februari 2021, sebagian puskesmas menggunakan rapid antigen tersebut," ujarnya. Jadi, dia melanjutkan, puskesmas saat melacak bisa langsung melakukan pemeriksaan sehingga bisa menjangkau lebih luas.

Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Laura Navika Yamani, mengatakan upaya penelusuran yang tidak optimal harus dilihat alasannya. "Selama ini pemerintah bisa tracing maksimal 10 orang saja ya. Ini harus dilihat masalahnya kenapa sangat sedikit yang dilacak," ujarnya saat dihubungi Republika.

Ia menyebutkan ada beberapa kemungkinan. Misalnya di awal banyak orang sampai lari dan menolak untuk ditelusuri karena merasa takut ketika terjaring penelusuran kontak. Atau kemungkinan orang terjaring pelacakan ini takut akan dikucilkan warga, kemudian ketika positif Covid-19, banyak pasien yang positif keberatan untuk isolasi mandiri karena posisinya menjadi kepala keluarga yang harus bekerja atau bahkan tidak tahu harus isolasi di mana.

"Ini yang harus dilihat," ujarnya.

Minimnya pelacakan inilah yang diakuinya yang akhirnya membuat pemeriksaan belum maksimal. Laura mengakui, pekerjaan rumah pemerintah adalah menambah kapasitas pelacakan dan akhirnya menambah orang yang dites Covid-19.

Oleh karena itu untuk menambah orang yang dites, ia menyarankan pemerintah bisa melakukan testing massal, terutama di daerah yang kasus Covid-19 tinggi. Ia menyontohkan misalnya di satu kampung atau satu RT ada yang positif Covid-19 maka pemerintah bisa memeriksa tes massal tetangganya dalam satu gang atau rukun tetangga.

Atau pemerintah bisa juga melakukan testing massal dalam satu klaster Covid-19, misalnya seperti kantor. Terkait ketentuan orang yang akan melakukan perjalanan harus melampirkan hasil testing, Laura menyebutkan itu tidak menjadi masalah. Sebab bisa jadi ada imported case, apalagi jika orang ini bepergian dari zona merah pergi ke daerah lain. "Kita tidak berharap dia menjadi sumber penularan kan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement