Kamis 21 Jan 2021 10:43 WIB

Akademisi: Pidana ke Penolak Vaksin tak Tepat

Hukum pidana tak boleh dijadikan sebagai senjata utama menghadapi pelanggaran prokes

Rep: Wahyu Suryana/ Red: A.Syalaby Ichsan
Presiden Moon Jae-in memegang botol vaksin Covid-19 saat kunjungannya ke pabrik SK Bioscience Co di tenggara Andong, Korea Selatan, 20 Januari 2021.
Foto: EPA
Presiden Moon Jae-in memegang botol vaksin Covid-19 saat kunjungannya ke pabrik SK Bioscience Co di tenggara Andong, Korea Selatan, 20 Januari 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Ari Wibowo menilai, kebijakan vaksinasi Pasal 93 UU 6/2018 dan Pasal 14 UU /1984 bersifat administratif. Karenanya, kurang tepat jika pidana dibebankan ke pelanggar.

Ia berpendapat, seharusnya hukum pidana seperti ini tidak boleh dijadikan sebagai senjata utama dalam menghadapi berbagai kasus pelanggaran yang ada. Tapi, baru digunakan sebagai senjata terakhir untuk pelanggar-pelanggarnya.

"Jika sanksi lain benar-benar tidak dapat digunakan lagi, maka baru bisa menggunakan sanksi pidana disebut juga ultimum remedium," kata Ari dalam webinar yang digelar Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Hendry Julian merasa, vaksin itu penting dengan tujuan kepentingan dan kekebalan imunitas. Jadi, diharap nantinya mencapai target 70 persen warga negara penerima vaksin.

Pemberlakuan vaksin bisa masuk dalam pengaturan Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang harus tunduk ke prinsip pembatasan. Ia melihat, perlindungan HAM, termasuk perlindungan kesehatan warga, jadi tanggung jawab pemerintah.

"Jika tetap dilaksanakan ancaman pidana bagi penolak vaksin, sebagai bentuk administratif kemungkinan dapat dikenakan Pasal 14 UU 4/1984 dan Pasal 93 UU 6/2018 dengan prinsip administrative penal law," ujar Hendry.

Direktur LBH NU Yogyakarta, Hasrul Boamona menekankan, kegiatan vaksin masuk pengaturan Pasal 93 dan 9 UU Kekarantinaan lewat kata wajib dan kewajiban. Lalu, Keppres 12/2020 yang pertimbangannya UU Wabah, bukan UU Kekarantinaan.

Artinya, Keppres No 12 Tahun 2020 memang lebih mengedepankan aspek-aspek bencana daripada aspek-aspek kesehatan. Implikasinya, pelaksanaan vaksin menjadi wajib karena berdasarkan UU Wabah.

"Padahal, seharusnya vaksin itu sifatnya boleh jika dipandang dari aspek kesehatan, sebab kesehatan itu sendiri merupakan hak asasi manusia warga negara dan bukan kewajiban warga negara," kata Hasrul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement