Ahad 17 Jan 2021 15:13 WIB

Berburu Sinyal Demi Sekolah Daring 

Di Selatan Manila, mahasiswa harus mendaki gunung untuk mendapatkan akses internet..

Red: Edwin Dwi Putranto

Jhay Ar Calma, siswa kelas 5, duduk di atap rumahnya saat mengikuti kelas daring menggunakan tablet. Ia duduk di atap rumahnya karena koneksi internet yang lemah di wilayahnya di Sta. Mesa, Manila, Filipina. (FOTO : REUTERS / Eloisa Lopez)

Mark Joseph Andal, seorang mahasiswa, mengikuti kelas daring melalui ponsel di sebuah pondok di hutan wilayah Mabalanoy, San Juan, Batangas, Filipina. (FOTO : REUTERS / Eloisa Lopez)

Mark Joseph Andal, seorang mahasiswa, mencoba mencari tempat di hutan yang memiliki koneksi internet, untuk mengikuti kelas daring menggunakan ponsel di Mabalanoy, San Juan, Batangas, Filipina. (FOTO : REUTERS / Eloisa Lopez)

Beberapa mahasiswa mengerjakan lembar kerja daring di sebuah gubuk di gunung, karena komunitas mereka tidak memiliki cukup sinyal untuk koneksi internet di Sitio Papatahan, Paete, Laguna, Filipina. (FOTO : REUTERS / Eloisa Lopez)

Mahasiswa Jester Rafon (kanan), bersama rekannya mendaki gunung untuk mencari tempat di mana ada koneksi internet guna mengikuti kelas daring di Sitio Papatahan, Paete, Laguna, Filipina. (FOTO : REUTERS / Eloisa Lopez)

Lovely Joy De Castro, siswa kelas 5, mengikuti kelas daring menggunakan telepon genggam di atas area pemakaman di Makati City, Filipina. (FOTO : REUTERS / Eloisa Lopez)

Sejumlah siswa mengerjakan modul pembelajaran di rumah mereka di Manila, Filipina. (FOTO : REUTERS / Eloisa Lopez)

inline

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Sejak pandemi memaksanya belajar dari jarak jauh, Jhay Ar Calma yang berusia 10 tahun seringkali harus naik ke atap besi bergelombang di rumahnya di lingkungan miskin Manila untuk mendapatkan sinyal internet.

Di atas atap, dia duduk di atas baskom plastik yang rusak dan berharap akan ada sinyal yang cukup kuat untuk perangkat yang dikeluarkan pemerintah. "Kadang-kadang kami mengganti kartu SIM ke penyedia lain sehingga dia tidak harus belajar di atas atap, tapi jarang ada cukup uang untuk itu," kata ibu Calma, Jonalyn Parulan kepada Reuters beberapa waktu lalu.

Di provinsi Laguna, Selatan Manila, sejumlah mahasiswa bahkan harus mendaki gunung untuk mendapatkan akses internet. Mereka juga membangun gubuk untuk berlindung dari hujan atau sebagai tempat tidur saat mereka harus bekerja hingga larut malam untuk mengerjakan tugas kuliah.

Kondisi mahasiswa di di San Juan, provinsi Batangas, tak jauh berbeda. Mark Joseph Andal, seorang mahasiswa menuturkan, dirinya membeli ponsel pintar untuk kelas virtual. Ia juga membangung gubuk seadanya yang digunakan didalam hutan karena hanya di lokasi itu ia mendapatkan sinyal internet.

Saat sinyal memudar, Andal mengambil kursi plastiknya untuk pindah ke tempat lain, dan jika hujan, dia memegang telepon di satu tangan dan payung di tangan lainnya. Meskipun memiliki banyak kendala, namun Andal tak putus semangat untuk terus berkuliah. "Kami tidak kaya, dan menyelesaikan sekolah adalah satu-satunya cara saya membayar orang tua saya karena telah membesarkan saya," katanya.

Sekolah daring terbukti sangat menantang di negara Filipina yang berpenduduk 108 juta di mana kurang dari seperlima rumah tangga memiliki akses internet dan banyak yang kekurangan perangkat seluler. Menurut Kementerian Pendidikan Filipina, telah terjadi lonjakan siswa yang putus sekolah selama pandemi.

Harapan untuk kembali ke ruang kelas juga harus tertunda setelah Presiden Rodrigo Duterte membatalkan rencana untuk kelas tatap muka dan menunda pembukaan kembali sekolah tanpa batas waktu, karena Filipina hingga kini masih memerangi lebih dari 480.000 kasus infeksi virus korona, jumlah tertinggi kedua di Tenggara. Asia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement