Senin 18 Jan 2021 00:40 WIB

John Hollis, Pria dengan Antibodi Super

Orang dengan antibodi super seperti John Hollis termasuk langka.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
John Hollis, pria AS yang memiliki antibodi super.
Foto: Ron Aira/George Mason University
John Hollis, pria AS yang memiliki antibodi super.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- John Hollis mulai merasa khawatir tertular Covid-19 ketika teman sekamarnya terkena penyakit tersebut. Pria yang merupakan mantan jurnalis tersebut tak sadar bahwa saat itu dia sebenarnya sudah pernah terkena Covid-19 dan dia mungkin yang menularkan penyakit tersebut kepada teman sekamarnya.

Yang lebih mengejutkan, Hollis ternyata juga memiliki antibodi yang tergolong langka di dalam darahnya. Antibodi yang dimiliki Hollis dikenal sebagai antibodi super.

Baca Juga

Antibodi ini dapat menetralisir virus penyebab Covid-19, yaitu SARS-CoV-2. Meski diencerkan hingga 10 ribu kali, antibodi dari Hollis tetap bisa menangkal Covid-19.

Antibodi seperti ini terbilang langka karena hanya ditemukan kurang dari lima persen pada populasi orang-orang yang pernah terkena Covid-19. Antibodi super yang dimiliki Hollis juga membuat darahnya menjadi sangat berguna dalam penelitian. Antibodi ini dapat membantu peneliti untuk mengidentifikasi terapi potensial untuk Covid-19.

"Mempelajari antibodinya memberikan kami cara-cara baru untuk melawan Covid-19," ujar ahli patologi dan bioengineer Dr Lance Liotta, seperti dilansir NBC News.

Dengan menggunakan antibodi dari Hollis, Liotta dan tim peneliti dapat memahami dengan lebih baik bagaimana cara membunuh virus SARS-CoV-2 dan cara memproduksi antibodi seperti milik Hollis secara massal. Saat ini, vaksin Covid-19 sudah mulai didistribusikan dan diberikan kepada masyarakat dunia.

Akan tetapi, terapi untuk mengobati Covid-19 juga tetap diperlukan. Hal ini membuat antibodi super dari Hollis menjadi sangat penting.

"Bila itu terdengar gila untukmu, bayangkan bagaimana perasaan saya," jelas Hollis.

Kisah Hollis dan antibodi super miliknya bermula ketika dia mengajak anaknya, Davis, untuk berjalan-jalan ke Eropa pada awal Maret. Tak lama setelah itu, mereka kembali ke Amerika Serikat sesaat sebelum penerbangan menunju negara tersebut dihentikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement