Senin 18 Jan 2021 01:47 WIB

Mengais Blusukan Politikus untuk Meraih Sukses

Blusukan menjadi strategi untuk bisa meraih dan mempertahankan jabatan.

Setiap malam hari di komplek pertokoan proyek jalan Ir H Djuanda Kota Bekasi banyak dipenuhi oleh gelandangan atau tuna wisma yang tidur di emperan (depan) toko.
Foto: Tiar Bekasi
Setiap malam hari di komplek pertokoan proyek jalan Ir H Djuanda Kota Bekasi banyak dipenuhi oleh gelandangan atau tuna wisma yang tidur di emperan (depan) toko.

Oleh : Agus Yulianto*

REPUBLIKA.CO.ID, Kata blusukan secara etimologi berasal dari bahasa Jawa. Dari kata dasar blusuk ‘masuk’ dan akhiran –an (afiks verba) yang berarti ‘masuk-masuk ke tempat tertentu untuk mengetahui sesuatu’.

Dalam bahasa Jawa blusukan merupakan verba. Seperti dolanan ‘bermain’, sarungan ‘memakai sarung’, dan oyak-oyakan ‘kejar-kejaran’.

Kalau dibandingkan dengan bahasa Indonesia, afiks–an pada umumnya membentuk kata benda dan berarti ‘hasil’ atau yang di-‘. Misalnya, arahan ‘hasil mengarahkan atau yang dijadikan arah’, rujukan ‘yang dirujuk’, pimpinan ‘hasil memimpin’, dan suruhan ‘yang disuruh’. Jadi, kata blusukan diserap ke dalam bahasa Indonesia secara utuh.

Blusukan inilah yang kemudian menjadi ramai diperbincangkan pasca-Joko Widodo (Jokowi) dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, pada 16 Oktober 2012. Kala itu, tak berselang lama setelah jadi orang nomer 1 di Provinsi DKI Jakarta, Jokowi langsung tancap gas melakukan gebrakan.

Dia ingin 'wajah' ibu kota ini menjadi bersih, tidak kumuh dan jorok. Ini karena, didapatinya tata kelola sejumlah permukiman di ibu kota tidak tertata dengan baik. Dampaknya, Jakarta kerap kebanjiran di saat musim penghujan karena drainase yang mampet oleh sampah-sampah rumah tangga, perkantoran, dan juga industri.

Sebagai gubernur di ibu kota pemerintahan, dia tak segan turun langsung ke lapangan. Tengok misalnya ketika dia turun ke gorong-gorong mengecek apakah saluran air di dalamnya berfungsi normal atau justru dipenuhi sampah.

Gebrakan dan blusukannya itu pun menuai sukses dan pujian dari kalangan masyarakat. Pun termasuk, dari para 'penggede' partai pengusungnya yang menginginkannya untuk turut serta dalam kancah perebutan kursi RI I dalam Pemilu Presiden 2014.

Ya, tak berselang lama, dan gegara keberhasilannya 'memikat' emosi warga dari aksi blusukannya, Jokowi yang disandingkan dengan Jusuf Kalla pun akhirnya memenangkan Pilpres pada 9 Juli 2014. Dan untuk pertama kalinya pula, presiden terpilih ini juga melakukan blusukan dengan dikawal Paspampres.

Dan itu dilakukan Jokowi saat mengunjungi sodetan Kali Ciliwung, di Kebon Nanas, Jakarta Timur. Hanya sekitar 10 menit Jokowi ada di sana. Namun, itu cukup ekfektif bagi Jokowi untuk menguatkan eksistensinya sebagai orang yang 'disukai' masyarakat.

Jokowi menyebut tujuannya adalah dalam rangka mendengar masalah yang ada di masyarakat, sekaligus menguasai 'medan'. Hal ini penting sebagai insentif dalam membuat kebijakan.

Kebijakan yang lahir dari aksi blusukannya itu antara lain Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP), serta penanganan masalah di Waduk Pluit, dan rehabilitasi rusun Marunda bisa tertangani.

Kata Jokowi, blusukan juga dilakukan sebagai manajemen pengawasan atau controlling. Sehingga, pihaknya bisa mengecek jalannya kebijakan yang sudah diambil secara langsung di lapangan.

Berhasil. Buktinya, keberhasilannya itu berlanjut pada pilpres periode berikutnya, 2019-2024, dimana Ia kembali terpilih bersama Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Sukses blusukan ala Jokowi ini, juga menginspirasi Menteri Sosial yang baru, Tri Rismaharini. Pascapenangkapan Juliari P Batubara oleh KPK beberapa waktu lalu, wali kota Surabaya ini diminta Presiden Jokowi untuk menduduki jabatan sebagai mensos.

Tak mau berlama-lama, Risma pun 'tancap gas' dalam menjalankan aktvitasnya sebagai mensos. Dia terlihat sibuk dengan kegiatan blusukan untuk mencari tunawisma di DKI Jakarta. Padahal, kementeriannya lagi dirundung kasus korupsi bansos, bencana alam, dan lainnya.

Entah, apakah blusukannya itu merupakan kebiasan Risma saat menjadi wali kota Surabaya dulu, atau ada tujuan lainnya 'membidik' kursi I DKI Jakarta. Entahlah. Yang jelas, Risma tampaknya memang tak mau ambil pusing dengan omongan-omongan orang lain menyangkut kegiatannya bertemu dengan tunawisma, easy going aja.

Di sisi lain, Dikutip dari data Dinsos DKI Jakarta melalui web dinsos.dki.jakarta.go.id, tercatat ada sebanyak 4.622 orang berstatus penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di ibu kota negara ini. Dari jumlah tersebut, orang berstatus gelandangan menempati posisi teratas dengan jumlah 1.044 orang.

Selain itu, ada orang terlantar dengan jumlah 647 orang. Dinsos DKI juga mencatat sebanyak 1.602 orang lainnya sebagai kategori PMKS lain-lain.

Sementara untuk tingkatan nasional, diperkirakan ada 77.500 gelandangan dan pengemis di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Hal ini, jelas menjadi permasalahan tersendiri bagi Kementerian Sosial untuk mengatasi permasalahan PMKS tersebut.

Ya, Risma seharusnya tak hanya mengusus tunawisma dan gelandang ibu kota saja. PMKS di kota-kota besar lainnya pun harus menjadi kepedulian dia untuk mengentaskan permasalahan PMKS. Siapa tahu, blusukannya itu akan membawa sukses dirinya untuk berkarir di pemerintahan seperti halnya Presiden Jokowi. Atau setidaknya, jabatan gubernur DKI Jakarta bisa dia raih.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement