Kamis 14 Jan 2021 13:58 WIB

Iran Disebut Gunakan Uranium untuk Reaktor Penelitian

Badan Atom Internasional sebut Iran lakukan pelanggaran baru soal kesepakatan nuklir

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Para teknisi sedang bekerja di pusat pemrosesan uranium di Iran.
Foto: reuters
Para teknisi sedang bekerja di pusat pemrosesan uranium di Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, WINA - Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengumumkan pada Rabu (13/1) bahwa Iran telah mulai mengerjakan bahan bakar berbasis logam uranium untuk reaktor penelitian. Upaya ini menjadi pelanggaran terbaru dari kesepakatan nuklir dengan enam negara besar.

“Direktur Jenderal (Badan Energi Atom Internasional) Rafael Mariano Grossi hari ini memberi tahu negara-negara anggota IAEA tentang perkembangan terkini mengenai rencana Iran untuk melakukan kegiatan Litbang pada produksi logam uranium sebagai bagian dari tujuan yang dinyatakan untuk merancang jenis bahan bakar yang lebih baik untuk Reaktor Riset Teheran," kata badan yang berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini dalam sebuah pernyataan.

Baca Juga

Laporan rahasia IAEA kepada negara-negara anggota mengatakan Iran telah mengindikasikan rencananya untuk memproduksi logam uranium dari uranium alami. Teheran kemudian akan memproduksi logam uranium yang diperkaya hingga 20 persen. Hasil ini dilaporkan untuk bahan bakar untuk Teheran Research Reactor.

Iran mengatakan kepada badan tersebut bahwa tidak ada batasan pada kegiatan Litbang. Modifikasi dan pemasangan peralatan yang relevan untuk kegiatan Litbang tersebut telah dimulai di Pabrik Fabrikasi Plat Bahan Bakar di Isfahan.

Teheran telah mempercepat pelanggaran kesepakatan dalam dua bulan terakhir. Beberapa dari langkah-langkah itu diwajibkan oleh undang-undang yang disahkan sebagai tanggapan atas pembunuhan ilmuwan nuklir topnya pada November, yang dituduhkan Teheran pada musuh bebuyutannya, Israel.

Akan tetapi langkah ini juga merupakan bagian dari proses yang dimulai oleh Teheran pada 2019. Sikap tersebut merupakan bentuk pembangkangan atas tanggapan penarikan diri Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 2018 dari kesepakatan nuklir. Kondisi ini membuat Washington menerapkan kembali sanksi.

Langkah tersebut meningkatkan tekanan pada Presiden terpilih AS Joe Biden, yang menjabat pekan depan. Biden telah berjanji untuk mengembalikan AS ke kesepakatan jika Iran pertama kali melanjutkan kepatuhan. Sedangkan Teheran ingin Washington mencabut sanksi terlebih dahulu.

Badan tersebut mengeluarkan laporan ad hoc kepada negara-negara anggota ketika Iran melakukan pelanggaran baru dari kesepakatan itu. Meskipun IAEA menolak untuk menyebut upaya itu sebagai pelanggaran.

Secara terpisah Iran juga berencana untuk memperkaya uranium hingga 20 persen di situs Fordow dan memulainya pada pekan lalu. Sejauh ini negara itu hanya mencapai 4,5 persen, di atas batas 3,67 persen yang ditetapkan oleh kesepakatan tetapi masih jauh dari 90 persen tingkat senjata.

Badan intelijen AS dan IAEA percaya Iran memiliki rahasia yakni program senjata nuklir terkoordinasi yang dihentikan pada 2003. Iran menyangkal pernah mencari senjata nuklir dan mengatakan tujuannya dengan energi nuklir sepenuhnya untuk kedamaian.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement