Selasa 12 Jan 2021 18:05 WIB

Israel Tolak Disebut Jalankan Rezim Apartheid

Israel tolak laporan organisasi B’Tselem yang sebut Israel jalankan rezim apartheid

Rep: Lintar Satria/Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Bendera Israel (ilustrasi)
Foto: Antara
Bendera Israel (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel menolak laporan organisasi kemanusiaan B’Tselem yang menyebut negara itu menjalankan rezim apartheid. Konsulat Jenderal Israel di New York Itay Milne menyebut laporan itu sebagai alat lain untuk mempromosikan agenda politis mereka.

Pada Selasa (12/1) Milner mengatakan laporan tersebut berdasarkan 'pandangan ideologis yang terdistorsi'. Ia menekankan warga keturunan Arab terwakilkan di seluruh lembaga pemerintah Israel termasuk jajaran diplomasi.

Baca Juga

Direktur hukum internasional Kohelet Policy Forum, Eugene Kontorovich, mengatakan fakta warga Palestina memiliki pemerintahan sendiri membuat pembicaraan mengenai apartheid  'tidak dapat dilakukan. Ia menyebut laporan B’Tselem 'cukup mengejutkan, tidak jujur, lemah, dan menyesatkan'.

Dikutip dari The Guardian, juru bicara Kedutaan Besar Israel di Inggris Ohad Zemet menolak tudingan apartheid tersebut. Dia menyebutnya sebagai alat propaganda. "Israel menolak klaim palsu dalam apa yang disebut laporan yang didasarkan pada kenyataan, tetapi pandangan ideologis yang menyimpang," ujar Zemet.

Zemet mengatakan semua warga Israel memiliki hak penuh, seperti orang Arab diwakili di semua cabang pemerintahan di parlemen Israel. Termasuk di pengadilan (mahkamah agung), di layanan publik, dan bahkan di korps diplomatik di mana mereka mewakili Negara Israel di seluruh dunia.

Dalam laporannya B’Tselem mengatakan masyarakat Palestina yang tinggal di Tepi Barat yang dikuasai Israel, Gaza, Yerusalem yang dianeksasi Israel dan yang tinggal di Israel sendiri memiliki hak yang lebih sedikit dibandingkan orang Yahudi. Ketidakadilan terjadi mulai dari Laut Mediterania hingga Sungai Yordan.

Organisasi yang dihormati di Israel itu menggunakan istilah yang tabu di negara tersebut. Beberapa kritikus pemerintah pun enggan memakai kata tersebut dalam perdebatan mengenai perang yang sudah berlangsung selama setengah abad.

Direktur B’Tselem Hagai El-Ad mengatakan lembaganya menggunakan istilah apartheid karena dua perkembangan yang terjadi baru-baru ini. Pertama diloloskannya undang-undang yang mendefinisikan Israel 'sebagai bangsa orang Yahudi' pada 2018 lalu.

Kritikus mengatakan hal itu menjadikan masyarakat Palestina yang minoritas di Israel menjadi masyarakat kelas dua serta akan meresmikan diskriminasi yang telah mereka alami sejak Israel berdiri pada tahun 1948.

Pendukung undang-undang ini mengatakan undang-undang ini hanya mengakui karakter Yahudi di Israel dan undang-undang yang sama dapat ditemukan di banyak negara Barat. Perkembangan kedua, kata El-Ad, pengumuman pemerintah Israel menganeksasi sepertiga Tepi Barat, termasuk permukiman Yahudi yang ditinggali oleh hampir 500 ribu orang Israel.

Rencana ini tertunda setelah sejumlah negara Arab Teluk melakukan normalisasi hubungan dengan Israel tahun lalu. Namun Israel mengatakan rencana itu hanya tertunda sementara.

B’Tselem dan organisasi kemanusiaan lain mengatakan pemisahan Israel dan Tepi Barat sudah hilang sejak lama. Pemukim Israel dapat bergerak bebas keluar masuk sementara warga Palestina harus mendapatkan izin untuk masuk ke Israel.

"Lima puluh tahun lebih tidak cukup memahami permanennya kekuasaan Israel di wilayah pendudukan? Kami pikir masyarakat harus bangun untuk menghadapi kenyataan dan berhenti membicarakan masa depan mengenai sesuatu yang sudah terjadi," kata El-Ad.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement