Selasa 12 Jan 2021 07:10 WIB

Dradjad: Perlu Transparansi Ilmiah dalam Vaksin

Transparansi Ilmiah perlu dilakukan untuk membangun kepercayaan publik

Kepala Badan POM Penny K. Lukito memberikan keterangan penerbitan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk Vaksin COVID-19 di Kantor Badan POM, Jakarta, Senin (11/1/2021). Badan POM mengeluarkan penerbitan EUA untuk vaksin Coronavac yang diproduksi oleh Sinovac Biotech dengan efikasi vaksin sebesar 65,3 persen berdasarkan dari hasil uji klinik di Bandung.
Foto: ANTARA/HO/Humas BPOM
Kepala Badan POM Penny K. Lukito memberikan keterangan penerbitan persetujuan penggunaan dalam kondisi darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk Vaksin COVID-19 di Kantor Badan POM, Jakarta, Senin (11/1/2021). Badan POM mengeluarkan penerbitan EUA untuk vaksin Coronavac yang diproduksi oleh Sinovac Biotech dengan efikasi vaksin sebesar 65,3 persen berdasarkan dari hasil uji klinik di Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Indef, Dradjad Wibowo mengatakan menyambut baik pengumuman Kepala BPOM Penny K. Lukito tentang efikasi CoronaVac, vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac. Namun ia menyarankan adanya transparansi ilmiah dalam hal vaksin.

"Saya juga menyambut baik pengumuman Menkes Budi Sadikin bahwa program vaksinasi akan dimulai Rabu besok, di mana Presiden Jokowi menjadi penerima pertama,” kata Dradjad dalam pesan watsapp-nya kepada republika.co.id, Selasa (12/1)

Dengan penerbitan EUA oleh BPOM, menurutnya, Indonesia menjadi negara pertama di luar China yang secara resmi menyetujui penggunaan CoronaVac. "Tentu ada implikasi geopolitisnya, tapi saya tidak akan membahasnya sekarang,” ugkapnya.

Vaksinasi massal, apalagi dalam waktu bulanan, kata Dradjad, merupakan pekerjaan besar. Selain masalah teknis seperti kecukupan vaksin, logistik dan kesiapan SDM, yang sangat krusial adalah kepercayaan publik.

Sebagai ilmuwan yang meneliti pandemi ini dari sisi ekonomi kesehatan, Dradjad  mengingatkan bahwa salah satu kunci vital bagi kepercayaan publik adalah transparansi ilmiah. Sudah bersikap transparan saja terkadang masih belum cukup, apalagi jika kurang transparan.

Untuk itu Dradjad menyarankan agar Menkes dan Kepala BPOM merilis data uji klinis fase 3 yang lebih lengkap. "Saya cek berbagai sumber, termasuk situs setkab, tidak ada data tentang jumlah peserta penerima vaksin dan plasebo, serta berapa yang terinfeksi di masing-masing kelompok. Datanya langsung ke efikasi,” papar Dradjad.

Tanpa data di atas, menurutnya, sulit untuk mengetahui //attack rate dari setiap kelompok. Apalagi tidak sedikit tokoh masyarakat, termasuk akademisi, yang belum tepat pemahamannya tentang angka efikasi vaksin.

Dradjad menyebut menemukan berita  di //Reuters, sumber di BPOM menyebut jumlah infeksi 25. Jika benar demikian, kata Dradjad, berdasarkan efikasi 65,3%, jika dihitung jumlah penerima vaksin yang terinfeksi sekitar 6 orang. Sementara dari kelompok plasebo sekitar 19 orang. Asumsinya adalah peserta vaksin dan plasebo sama jumlahnya.

Dradjad menyarankan angka tersebut sebaiknya diumumkan resmi oleh Menkes dan BPOM. Tentu perlu diberi penjelasan bahwa semua vaksin memang seperti itu. Tetap ada penerima vaksin yang masih rawan terinfeksi. Karena itu, prokes tetap harus dijalankan dengan disiplin meski sudah menerima vaksin.

Transparansi ilmiah ini, menurutnya, sangat penting. Menurutnya wajar ada keraguan bahkan penolakan vaksin di masyarakat. Terlebih banyak tulisan ngawur dan tidak ilmiah yang beredar di medsos.

Dipaparkannya, sejak dulu di seluruh dunia selalu ada saja kelompok “anti vaxxers”. Pada tahun 1885 saat epidemi cacar air di Montreal masih mematikan, ada dokter bernama Alexander M. Ross yang justru menjadi penentang utama vaksin cacar.  Padahal tingkat kematian akibat cacar air saat itu sangat tinggi, antara 30-40%.

"Argumen yang dipakai juga sama. Yaitu, tidak percaya adanya pandemi, penyakitnya tidak berbahaya, vaksin justru dianggap lebih berbahaya dan sebagainya,” ungkap Dradjad yang juga Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Faktanya, kata Dradjad, dunia berhasil memberantas cacar air dengan vaksinasi sebagai program utama. Lebih telak lagi, Dr Ross ternyata juga memilih disuntik vaksin.  "Jadi, pak Menkes dan bu Kepala BPOM, mari kita bangun kepercayaan publik dengan transparansi ilmiah. Tolong keluarkan data lengkapnya,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement