Senin 11 Jan 2021 06:01 WIB

Presiden Harus Menindaklanjuti Laporan Komnas HAM

Laporan Komnas HAM tantangan Kapolri baru

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (depan) memeriksa satu dari tiga mobil yang dikendarai polisi dan enam laskar FPI dalam kasus penembakan anggota FPI di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (21/12/2020). Setelah pemeriksaan terhadap tiga mobil yang digunakan saat kasus penembakan anggota FPI di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 tersebut, Komnas HAM akan menindaklanjuti hasil balistik, siapa saja yang menembak, dan cek darah dari anggota FPI.
Foto: ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam (depan) memeriksa satu dari tiga mobil yang dikendarai polisi dan enam laskar FPI dalam kasus penembakan anggota FPI di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (21/12/2020). Setelah pemeriksaan terhadap tiga mobil yang digunakan saat kasus penembakan anggota FPI di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 tersebut, Komnas HAM akan menindaklanjuti hasil balistik, siapa saja yang menembak, dan cek darah dari anggota FPI.

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH.,MH. 

HASIL penyelidikan Komnas HAM terhadap peristiwa terbunuhnya enam orang laskar Forum Pembela Islam (FPI) yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) pada 7 Desember 2020 lalu, mulai dibuka ke publik. Jumat (8/1) lalu, Komnas HAM telah merilis hasil pengumpulan data dan fakta yang telah diuji, dianalisis dan disimpulkan, serta direkomendasikan dalam sebuah laporan temuan hasil penyelidikan terhadap peristiwa penembakan di KM 50 ruas tol Jakarta-Cikampek (Japek).

Satu hal yang setidaknya lebih jelas bahwa dari 6 orang laskar FPI yang tewas, Komnas HAM menyatakan, terdapat 4 orang korban yang didapatkan tewas akibat kekerasan dan penembakan dengan sengaja oleh polisi di luar mekanisme penegakan hukum yang  seharusnya ( unlawful killing ). Bahkan sebelum dibunuh terungkap temuan pada  tanda-tanda fisik yang menunjukkan bahwa keempat korban telah terlebih dahulu mengalami penyiksaan (torture).

Dalam bahasa Komnas HAM, keempat orang FPI ini masih hidup ketika dalam penguasaan resmi petugas negara. Namun kemudian tewas di tangan petugas tanpa ada upaya lain untuk mencegahnya.

Oleh karena itulah tindakan petugas yang menyiksa dan mengakibatkan kematian anggota FPI tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM ( serious violation of human rights ).

Sementara itu, masih menurut versi Komnas HAM, dua orang laskar FPI yang tewas lainnya merupakan akibat penghadangan terhadap petugas negara. Terjadi kontak senjata ketika itu, dan dua anggota FPI itu kemudian gugur.

Kesan yang ingin dibangun dari konstruksi cerita ini, bahwa dua orang yang tewas berkategori ' lawfull killing ' karena petugas negara sedang menegakkan hukum.

Hanya saja aktivitas penegakan hukum yang sedang dilakukan polisi pada saat itu adalah menguntit HRS sebagai terduga pelaku pembuat kerumunan di masa pandemi Covid 19. Cara dan prosedur penegakan hukum yang berbuntut pada kekerasan fisik secara berlebihan ini kemudian mengundang kontroversi, karena tidak sebanding dengan dugaan kesalahan para korban. 

Harapannya, apabila terbukti terdapat pelanggaran HAM oleh kepolisian terkait dengan tewasnya 4 orang laskar FPI itu, tentu saja kita berharap agar kasus ini segera ditindaklanjuti melalui proses pemidanaan terhadap pelaku penembakan dan penyuruh (pemberi perintah) penembakan.

Tentu saja penegakan hukum yang ' fairness ' hanya bisa dilakukan jika laporan Komnas HAM ini ditindaklanjuti oleh Presiden Jokowi. Bagaimana pun Komnas HAM adalah ' government body ' yang memberikan rekomendasi hasil kerjanya hanya kepada Presiden sebagaimana amanat UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia.

Sebagai kepala negara tentu saja presiden sejatinya menindaklanjuti rekomendasi pemidanaan tersebut. Tentu tidak sepatutnya bagi presiden memberikan imunitas (melindungi orang agar terbebas dari hukuman) apabila proses pemeriksaan nantinya menemukan pihak yang menjadi aktor pemberi perintah terjadinya pelanggaran HAM ini.

Jika Presiden tidak sigap, tanggap dan cepat dalam merespon dan menindaklanjuti laporan Komnas HAM ini, bukan tidak mungkin kasus ini akan di-peties-kan atau dibekukan. Alhasil tidak akan ada bedanya dengan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Kasus ini bisa serupa dimana aktor yang diusut hanyalah pelaku dan bukan penyuruh (dader)

Apabila proses penegakan hukum terhadap kasus ini lamban karena faktor terhentinya proses tindaklanjut di meja Presiden, wacana untuk menyeret kasus ini ke peradilan pidana internasional ( International Criminal Court /ICC) akan memanas. Dan tentu saja hal ini akan menurunkan reputasi negeri ini di mata dunia. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement