Wednesday, 8 Syawwal 1445 / 17 April 2024

Wednesday, 8 Syawwal 1445 / 17 April 2024

KPU: Dalil Pelanggaran TSM Mayoritas Diajukan Petahana 

Sabtu 09 Jan 2021 00:49 WIB

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto

Komisioner KPU, Hasyim Asyari

Komisioner KPU, Hasyim Asyari

Foto: Republika TV/Surya Dinata
Calon yang tidak memenuhi syarat itu kemudian menempuh upaya hukum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mengatakan, sejumlah calon kepala daerah petahana yang kalah Pilkada 2020 mengajukan dalil permohonan terkait pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Menurut dia, hal itu menarik karena biasanya pasangan calon (paslon) bukan petahana yang melaporkan dugaan pelanggaran TSM oleh calon petahana dalam perselisihan hasil pemilihan. 

"Yang lebih menarik argumentasi yang diajukan petahana itu pelanggaran TSM. (Padahal) kencenderungannya argumentasi TSM dilakukan oleh petahana," ujar Hasyim dalam diskusi daring, Kamis (7/1). 

Hasyim menuturkan, memang ada kencenderungan beberapa petahana kalah di Pilkada 2020, sehingga mereka menjadi pemohon dalam sengketa hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, petahana yang kalah itu menggunakan dugaan pelanggaran TSM karena perbedaan perolehan suara dengan pemenang pilkada cukup besar. 

"Padahal, mohon maaf ya, biasanya yang sering dilaporkan pelanggaran penyalahgunaan jabatan kewenangan itu incumbent (petahana). Tapi di beberapa daerah incumbent kalah, tampaknya kerepotan membuktikan selisih suara," kata Hasyim. 

Berdasarkan Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018, pelanggaran administrasi pemilihan yang terjadi secara TSM dibagi menjadi dua objek. Objek pertama yaitu perbuatan yang melanggar tata cara, prosedur, atau mekanisme berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilihan dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Objek kedua yakni adanya unsur perbuatan atau tindakan yang menjanjikan memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan atau pemilih secara terstruktur, sistematis, dan masif. Makna terstruktur ialah pelanggaran yang dilakukan dengan melibatkan aparat struktural, seperti penyelenggara pemilihan, struktur pemerintahan, atau aparatur sipil negara.

Sedangkan yang dimaksud sistematis adalah pelanggaran yang dilakukan dengan perencanaan matang, tersusun, dan rapi. Sementara arti dari masif ialah dampak pelanggaran bersifat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan.

Di sisi lain, lanjut Hasyim, ada juga paslon yang mempersoalkan proses pencalonan. Misalnya, terkait calon pemenang pemilihan bupati Boven Digoel yang mantan terpidana korupsi sehingga pemohon sengketa menilai ada unsur tidak memenuhi syarat (TMS). 

Calon yang tidak memenuhi syarat itu kemudian menempuh upaya hukum yaitu mengajukan sengketa di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bawaslu lantas mengabulkan gugatan sehingga calon yang bersangkutan resmi menjadi perserta pilkada. 

Hasyim mengatakan, dalil permohonan itu memang di luar persoalan selisih suara. Akan tetapi, MK yang akan memutuskan apakah permohonan paslon itu dapat memenuhi syarat untuk diperiksa karena berpengaruh signifikan terhadap perolehan hasil suara atau tidak. 

Di samping itu, pemeriksaan ambang batas pun tidak lagi menjadi syarat formal melainkan materiel. Sehingga pemeriksaan persidangan terkait substansi ambang batas jika tidak terpenuhi, maka putusannya seharusnya menjadi diterima atau ditolak bukan lagi tidak dapat diterima. 

 
 

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler