Sabtu 09 Jan 2021 00:37 WIB

Kiara: Kasus Lobser Usut Sampai Akarnya

Kasus suap ini tidak berhenti meskipun saksi kunci kasus korupsi lobster meninggal.

Rep: Mursalin Yasland/ Red: Agus Yulianto
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (4/1/2021). Edhy Prabowo menjalani pemeriksaan lanjutan dalam kasus dugaan penerimaan suap perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Foto: Antara/Fakhri Hermansyah
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin (4/1/2021). Edhy Prabowo menjalani pemeriksaan lanjutan dalam kasus dugaan penerimaan suap perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati, mendesak KPK untuk terus melakukan penyelidikan kasus korupsi ekspor benih lobster sampai ke akarnya. Kasus suap ini tidak berhenti meskipun saksi kunci kasus korupsi lobster meninggal dunia pada akhir tahun lalu.

“Kami mendesak KPK tetap melakukan penyelidikan kasus ini sampai kepada aktor-aktor besar. Jangan hanya berhenti di Edhy Prabowo dan beberapa stafnya saja,” kata Susan Herawati dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (8/1).

Salah satu saksi dalam kasus suap ekspor benih lobster Edhy Prabowo, bernama Deden Deni meninggal dunia pada 31 Desember 2020 lalu. Hal ini diungkap pelaksana tugas juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri, Senin (4/1).

Berdasarkan data KPK, Deden Deni merupakan Direktur PT Perishable Logistic Indonesia (PLI). Perusahaan ini berkongsi dengan PT Aero Citra Kargo (ACK) sebagai forwarder dari eksportir benur. Adapun PT ACK merupakan satu-satunya perusahaan kargo yang mendapatkan izin untuk mengangkut benur ke luar negeri. Dari PT ACK inilah, Edhy Prabowo mendapatkan suap untuk ekspor benih lobster.

“Kasus korupsi ekspor lobster ini adalah contoh buruk tata kelola sumber daya perikanan di Indonesia, dimana negara dirugikan sedangkan segelintir pengusaha merangkap politisi mendapatkan untung banyak,” kata Susan.

Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan akhir tahun 2020 lalu, sepanjang Juni sampai dengan November 2020 telah terjadi ekspor sebanyak 42,27 juta benih lobster ke luar negeri, dimana Vietnam menjadi penerima sebanyak 42,18 juta ekor atau 99,75 persen dari total ekspor benih lobster. Dari angka itu, negara hanya mendapatkan PNBP sebanyak 10,57 juta rupiah saja. Sementara itu, keuntungan perusahaan eksportir tercatat sebanyak 7,05 triliun rupiah.

“Dengan data tersebut di atas, jelas sudah negara sangat dirugikan. Atas dasar itu seluruh aktor yang menikmati izin ekspor benih lobster dari Edhy Prabowo harus ditangkap oleh KPK, meski terjadi kematian salah satu saksi kunci,” kata Susan.

Keberhasilan dan kegagalan KPK dalam mengungkap kasus korupsi ekspor benih lobster, ujar Susan, akan menjadi salah satu tolak ukur kinerja KPK di tengah rendahnya kepercayaan publik secara luas kepada lembaga ini setelah revisi UU KPK pada tahun 2020 lalu.

Salah satu hal yang mesti segera dilakukan KPK, menurut Susan, adalah memeriksa izin ekspor yang diberikan oleh Edhy Prabowo kepada 60 perusahaan eksportir. “Izin ekspor diberikan tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas. KPK wajib mengusut semua ini,” katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement