Melihat kondisi yang semakin tidak membuat nyaman itu, MSW pun merasa makin dekat jarak hidupnya dengan kematian. Dia membayangkan hanya tinggal menyeberang untuk menuju jembatan kematian itu.
Dia tingkatkan bacaan mengajinya selama dalam perawatan itu. Setiap ada kesempatan, mengaji pun telah menjadi ritual wajibnya di rumah sakit.
Kondisi fisik MSW belum juga membaik. Batuk berat sepanjang malam masih dideritanya. Napas pun terasa sesak dan bagaikan keluar satu-satu dari hidung diiringi tarikan berat terengah-engah.
"Oh seperti inilah rasanya orang akan mati," kata MSW dalam batinnya sambil meneteskan air mata.
Cukup lama hidup dalam perawatan dan ketidakpastian untuk sembuh, rupanya muncul suasana baru. Para pasien kemudian saling berkenalan.
Solidaritas dengan pasien lain pun tumbuh sejak kehadiran nenek itu. Mereka saling memberi semangat. Sering pula mereka menyapa dan menyuapi si nenek yang tidak bisa makan sendiri.
Nenek itu pun dihiburnya. Rupanya, nenek itu teramat bersedih lantaran setelah beberapa hari di rumah sakit, dua anaknya sama sekali tak pernah meneleponnya untuk menanyakan kabar. Justru dia lebih dulu yang senantiasa menelepon anak-anaknya.