Jumat 08 Jan 2021 14:51 WIB

Atasi Pasokan Impor Kedelai, Perlu Sumber Alternatif

China telah membeli 58 persen kedelai dari Amerika Serikat untuk kontrak 2020-2021.

Pekerja memproduksi tahudi Banda Aceh, Aceh, Rabu (6/1/2021). Harga kedelai impor yang mengalami kenaikan drastis mencapai Rp10.000 per kilogram dari harga normal Rp6.900 per kilogram, mengakibatkan sebagian industri tahu di daerah itu tutup dan hanya sebagian kecil industri tahu yang bertahan produksi karena masih memiliki stok kedelai tapi jumlanya terbatas.
Foto: ANTARA/Ampelsa
Pekerja memproduksi tahudi Banda Aceh, Aceh, Rabu (6/1/2021). Harga kedelai impor yang mengalami kenaikan drastis mencapai Rp10.000 per kilogram dari harga normal Rp6.900 per kilogram, mengakibatkan sebagian industri tahu di daerah itu tutup dan hanya sebagian kecil industri tahu yang bertahan produksi karena masih memiliki stok kedelai tapi jumlanya terbatas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah perlu mencari sumber pasokan kedelai dari sejumlah negara nontradisional sehingga tidak tergantung lagi dengan pasokan dari Amerika Serikat yang selama ini menjadi sumber terbesar pasokan kedelai di dalam negeri. "Sebanyak 95 persen lebih pasokan kedelai impor berasal dari negeri Paman Sam. Persoalannya, untuk periode 2020/2021 ini, kedelai AS sudah diborong China. Indonesia harus cari pemasok lain, karena panen kedelai lokal masih dua bulan lagi. Itupun jumlahnya sedikit," kata Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/1).

Ia mengingatkan berdasarkan data FAO, hingga 10 Desember 2020 lalu, China telah membeli 58 persen kedelai dari Amerika Serikat untuk kontrak 2020-2021.

China, membutuhkan pasokan yang besar untuk kebutuhan pakan babi pasca peternakan mereka pulih dari wabah flu babi. Hal tersebut, memicu kenaikan harga kedelai di pasar global, di mana rata-rata harga kedelai pada Desember 2020 mencapai 461 dolar AS per ton, naik 6 persen dari harga November. Amin menyebut sejumlah negara produsen kedelai yang perlu dijajaki antara lain Brasil, Argentina, Paraguay, India, Kanada, Rusia, Ukraina, maupun sejumlah negara Afrika.

Selain pembelian langsung, lanjut Amin, Indonesia dinilai bisa pula menawarkan produk dari Indonesia sebagai komoditas barter seperti minyak sawit, kopi, dan produk unggulan lainnya. Amin mengutarakan harapannya agar BUMN Pangan minimal mampu mengembalikan produksi kedelai nasional seperti 10 tahun lalu yang mencapai 1,8 juta ton per tahun. Dengan umur panen yang hanya sekitar 3 bulan, kedelai lokal bisa ditanam 3 kali setahun.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Jakarta, Kamis (7/1), menjelaskan ada tiga agenda yang akan dilakukan Kementan untuk terus memantau pasokan dan harga kedelai dalam negeri. "Pertama, agenda SOS yakni stabilisasi harga, pasokan tidak boleh ada yang terganggu sehingga ketersediaan harus dipastikan aman. Harga tidak boleh terlalu turun dan tidak boleh terlalu naik, khawatirnya kontraksi ini hanya sementara," kata dia.

Mentan menambahkan agenda SOS ini berlangsung selama 100 hari. Kedua, agenda temporer atau jangka pendek yakni dalam 200 hari ke depan produktivitas lokal harus dilipatgandakan. Ketiga, agenda jangka panjang Indonesia dapat memenuhi kebutuhan kedelai secara mandiri sehingga saat negara lain mengalami kendala tidak berimbas di dalam negeri.

Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gapoktindo) Aip Syarifuddin mengapresiasi upaya pemerintah dalam menstabilkan harga di kalangan perajin. Ia mengakui saat ini produksi sudah kembali berjalan lancar dan perajin tahu tempe saat ini sudah bisa merasa aman dengan harga yang sudah disepakati.

 

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement