Kamis 07 Jan 2021 23:03 WIB

KH Ilyas Ruhiat, Tokoh NU 24 Karat yang tak Anti-ICMI

KH Ilyas Ruhiat mengabdikan dirinya untuk NU dan umat

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
KH Ilyas Ruhiat mengabdikan dirinya untuk NU dan umat . KH Ilyas Ruhiat
Foto: Dok Wikipedia
KH Ilyas Ruhiat mengabdikan dirinya untuk NU dan umat . KH Ilyas Ruhiat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Seperti kiai pada umumnya, dia dikenal tampil sederhana. Cara bicaranya halus dan santun, sehingga sebagian orang pun menyebutnya sebagai ulama yag menyejukkan. 

Sementara, kacamata minus yang melekat diwajahnya menunjukkan betapa rajiannya ajengan yang satu ini dalam membaca, khususnya kitab-kitab klasik.

Baca Juga

Dia bernama KH Moh Ilyas Ruhiat, seorang ulama NU yang lahir di Cipasung, Tasikmalaya pada 12 Rabiul Awal 1352 atau bertepatan dengan 31 Januari 1934. Dia adalah pengasuh kedua Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat.  

Ajengan Ilyas memiliki prinsip hidup untuk selalu mengabdi dan berjuang lewat organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan Hadrastus Syekh KH  Hasyim Asy’ari. “Hidup saya hanya untuk mengajar dan mengabdi di NU,” kata Ajengan Ilyas suatu ketika.

Kalimat itu bukan kata-kata kosong, tapi sudah dibuktikan dengan sepak terjangnya di NU. Bahkan, Ajengan Ilyas penah mencoba berkontribusi untuk NU lewat jalur politik. Dalam Pemilu 1971, dia pernah menjadi calon legislatif nomor urut satu dari Partai NU untuk DPRD tingkat I.

Saat itu, Ajengan Ilyas berkampanye memperjuangkan peluang yang diberikan Partai NU kepadanya. Suara melalui Pemilu pun didapat dan dia siap untuk berjuang melalui DPRD. Namun, setelah berdiskusi dengan ayahnya, dia menyerahkan kedudukan itu kepada orang lain.

Ajengan Ruhiat saat itu memberikan nasihat kepada putranya tersebut agar mengurus pesantren saja dan tidak terjun ke dunia politik. “Lebih baik kita mengurus pesantren saja,” kata Ajengan Ruhiat kepada Ajengan Ilyas saat itu.

Dalam buku “Ajengan Cipayung: Biografi KH Ilyas Ruhiat”, Iip D Yahya menjelaskan, Ajengan Ilyas memiliki prinsip hidup untuk selalu bekerja karena Allah dan tidak tergantung kepada seseorang. Dengan prinsip itu, dia pun tidak merasa kesulitan bekerjasama dengan siapapun, termasuk dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Bagi Ajengan Ilyas, bekerjasama dengan Gus Dur adalah sesuatu hal yang biasa-biasa saja. Demikian juga saat bekerjasama dengan orang lain. Karena itu, tak heran jika Ajengan Ilyas juga pernah menjadi Penasihat Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) wilayah Jawa Barat.

Menurut Ajengan Ilyas, jika ada organisasi yang bertujuan untuk memajukan umat Islam seperti ICMI, maka itu merupakan suatu hal yang positif. Menurut dia, orang yang ikut atau menolak ICMI adalah pertimbangan pribadi dan yang ikut atau menolak ICMI tidak berarti mewakili NU.

Setiap organisasi pasti mempunyai latar belakang  masing-masing. Namun, berdasarkan pengamatan Ajengan Ilyas, pencapaian ICMI melalui ketokohan BJ Habibie saat itu baru berhasil untuk masyarakat tingkat atas saja, belum menyentuh masyarakat di tingkat bawah.

Sikapnya yang santun dan selalu ramah sudah menjadi pembawaan pribadinya di mana pun dan kapanpun. Ajaran-ajaran kitab kuning atau kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu ikut memperkuat apa yang sudah menjadi pembawaan pribadinya tersebut.

Dalam satu catatannya, dia pun mengutip pendapat Muawiyah yang menjelaskan bahwa manusia itu ada tiga macam. Pertama, orang yang punya ilmu dan suka bermusyarawah, dan ini dinamakan orang yang utama atau fadhil.

Kedua, orang yang tidak punya ilmu tetapi suka bermusyawarah, dan ini dinamakan orang yang berakal atau aqil. Sedangkan yang ketiga, orang yang punya ilmu tetapi tidak suka bermusyawarah, dan ini dinamakan orang yang keblinger atau ghafil.

“Sementara orang yang tidak punya ilmu dan tidak mau musyawarah, itu bukan manusia tetapi hewan,” kata Ajengan Ilyas.     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement