Jumat 08 Jan 2021 01:11 WIB

Epidemiolog: Penggunaan Masker Lebih Efektif daripada Vaksin

Epidemiolog mengutip data dari The Institute for Health Metrics and Evaluation.

Masker bedah memiliki tiga lapisan.
Foto: Republika
Masker bedah memiliki tiga lapisan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar epidemiologi dari University of North Carolina- Chapel Hill Amerika Serikat (AS), Juhaeri Muchtar mengatakan penggunaan masker lebih efektif menurunkan angka kasus Covid-19 dibandingkan vaksin. Apalagi, efektivitas vaksin Covid-19 saat ini masih dipertanyakan.

“Dari The Institute for Health Metrics and Evaluation (covid19.healthdata.org), menunjukkan bahwa penggunaan masker diproyeksi akan mampu menurunkan jumlah kasus mulai dari akhir Desember 2020, dan akan terus turun di April 2021,” ujar Juhaeri dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis (7/1).

Dalam webinar yang diselenggarakan Sekolah Gemala Ananda itu, Juhaeri menambahkan, jika semua orang pakai masker maka bisa langsung menurun jumlah kasus Covid-19 pada April 2021.

“Kalau penggunaan vaksin bisa segera diaplikasikan, maka memuncak di bulan Februari 2021, dan kemudian menurun. Ini digunakan oleh pemerintah Amerika untuk memprediksi ke depannya bagaimana,” kata Juhaeri.

Dia menambahkan, penggunaan masker lebih efektif dibandingkan vaksin. Karena sebetulnya vaksin yang diuji klinis, kalau sudah (beredar) di masyarakat belum tentu keefektifannya mencapai 95 persen.

“Kalau masker, bisa langsung menurunkan (kasusnya) sekarang. Kalau vaksin, perlu waktu untuk distribusi, administrasi, dan untuk menunggu imunitas. Makanya, masker itu jauh lebih mudah dan efektif. Dua-duanya perlu, cuma masker tinggal pakai sekarang, sementara vaksin perlu waktu,” imbuh dia.

Juhaeri pun memaparkan pandemi di dunia yang terjadi pada masa sebelum sekarang, semisal pandemi “Spanish Flu” pada 1918, yang mungkin yang paling mematikan di abad 20. Sebanyak 50 juta orang meninggal akibat pandemi tersebut.

Menurut Juhaeri, pandemi Covid- 19 berasal dari binatang, dan informasi itu juga menangkal isu yang mengatakan bahwa pandemi kali ini adalah rekayasa genetik dari sebuah laboratorium.

“Kalau saya bilang enggak, karena ini bukan hal pertama juga. Kita tahu yang sejenis ini mulai dari Rift Vallet Fever Virus di tahun 1931. Terus, terjadi berkali-kali sampai sekarang,” kata dia lagi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement