Rabu 06 Jan 2021 18:49 WIB

Pembatasan Ketat yang Ditakutkan Dunia Usaha

Kadin minta pembatasan dibarengi penegakan ketat protokol kesehatan.

Warga bersiap menyeberang Jalan Jenderal Sudirman di Jakarta. Mulai 11 Januari hingga 25 Januari 2021, pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan secara terbatas di Pulau Jawa dan Bali untuk menekan penyebaran kasus positif Covid-19.
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Warga bersiap menyeberang Jalan Jenderal Sudirman di Jakarta. Mulai 11 Januari hingga 25 Januari 2021, pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan secara terbatas di Pulau Jawa dan Bali untuk menekan penyebaran kasus positif Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Iit Septyaningsih, Nawir Arsyad Akbar, Sapto Andika Candra

Dunia usaha menangapi rencana pembatasan kegiatan secara terbatas dengan kekuatiran. Penerapan pembatasan pasalnya kerap memukul dunia usaha, menyebabkan ekonomi masuk dalam zona kelesuan.

Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) menyatakan, pemberlakuan kembali pembatasan kegiatan yang lebih ketat, akan berdampak lagi ke Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). "UMKM baru mau bangkit dan pulih, tapi Covid-19 tambah meningkat terutama di Jawa dan Bali menjadi red zone. PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) ketat pasti berdampak lagi ke UMKM, dengan turunnya omset karena dibatasi lagi hanya 25 persen orang yang bisa ke kantor," ujar Ketua Umum Akumindo Ikhsan Ingratubun kepada Republika, Rabu (6/1).

Ia melanjutkan, banyaknya platform digital yang saat ini bisa membantu UMKM berjualan, tidak terlalu berpengaruh. Sebab menurutnya, berjualan lewat digital tidak maksimal dalam melayani pelanggan.

"Berjualan digital (hasilnya) hanya 15 sampai 20 persen dari total omset. Selain itu, dari 64 juta jumlah UMKM, baru sekitar 6 sampai 7 juta yang bisa masuk digital, jadi tidak bisa dipukul rata semua UMKM bisa atasi dampak PSBB dengan go digital," tutur Ikhsan.

Dirinya mengakui, kondisi saat ini memang serba salah. Di satu sisi, pemerintah memperketat PSBB karena angka Covid-19 terus naik, namun di sisi lain berdampak signifikan terhadap ekonomi.

"Maka saran kita, seharusnya tetap diberlakukan PSBB transisi namun ada pengawasan. Sebab, masyarakat Indonesia tidak cukup jika hanya imbauan protokol kesehatan," kata dia.

Ikhsan mengatakan, DKI Jakarta sebelumnya telah menetapkan PSBB transisi disertai pengawasan di berbagai lokasi rawan kerumunan, seperti di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dan lainnya. Ia lebih cenderung PSBB transisi yang meluas penerapannya, tidak hanya di Jakarta.

"Harusnya begitu lagi. Jadi jangan PSBB ketat, kalau PSBB ketat jam mal misal dibatasi sampai jam 7 malam, maka para pemain (pedagang) sore, habis kesempatan jualannya," tegasnya.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga menilai kebijakan pembatasan kegiatan kontraproduktif. Pasalnya, pembatasan seperti dulu lewat PSBB ketat akan menurunkan permintaan domestik.

"Dari pengalaman dua PSBB sebelumnya kita sudah lihat confidence konsumsi masyarakat dan demand domestik langsung turun begitu PSBB diberlakukan kembali. Ini terlihat jelas dalam berbagai indikator seperti indeks keyakinan konsumen dan pertumbuhan penjualan ritel, meskipun masyarakat semakin familiar dengan PSBB," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin, Shinta W Kamdani.

Dunia usaha, kata dia, mengerti saat ini pengetatan PSBB diperlukan, karena penyebaran Covid-19 yang belum berakhir. Hanya saja diharapkan, pemerintah bisa membatasi dampaknya ke aktivitas ekonomi.

"Kami lihat PSBB pun tidak efektif kalau disiplin protokol kesehatan di masyarakat sendiri semakin kendur. Maka itu, dampak pengendaliannya hanya jangka pendek dan tidak sebanding dengan disrupsi yang terjadi pada kegiatan ekonomi," tuturnya.

Apalagi, kata dia, saat ini sebetulnya waktu sangat potensial untuk mengejar pemulihan. Di antaranya dengan meningkatkan kinerja usaha, ekspor dan investasi, karena pasar global mulai pulih.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan kebijakan pembatasan diambil dengan sudah mempertimbangkan sisi ekonomi. Indonesia dianggap sudah mengalami pemulihan dan lebih siap menjalani pembatasan sosial lanjutan.

Sejumlah indikator ekonomi yang menunjukkan perbaikan antara lain, Purchase Manager Index (PMI) nasional konsisten meningkat menuju level 51,3. Kurs rupiah terhadap dolar AS juga menguat dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan dalam beberapa hari ini, nilainya sempat meningkat menyentuh Rp 13.899 per dolar AS. Airlangga menyebutkan, angka ini bahkan lebih tinggi daripada capaian pada 'pre-Covid 19' di bulan Januari 2020 lalu.

"Dan kemarin bursa saham juga sudah mencapai 6.105 dan selanjutnya pemerintah juga sedang mempersiapkan pelaksanaan vaksinasi, yang rencananya dilakukan pada minggu depan sesudah mendapatkan EUA dari BPOM dan juga memenuhi aspek kehalalan dari MUI," ujar Airlangga dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Rabu (6/1).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement