Rabu 06 Jan 2021 06:39 WIB

Pokjar UT Al Iman Kupas Filsafat Pendidikan Engku Syafei

Pendidikan yang merdeka adalah perjuangan tiada henti. 

Kelompok belajar (Pokjar)  UT  Yayasan Perguruan Al Iman Bogor menggelar webinar yang mengupas filsafat pendidikan Engkue Syafei, pendiri INS Kayutanam, Sumatera Barat, Sabtu (2/1).
Foto: Dok Pokjar UT Al Iman
Kelompok belajar (Pokjar) UT Yayasan Perguruan Al Iman Bogor menggelar webinar yang mengupas filsafat pendidikan Engkue Syafei, pendiri INS Kayutanam, Sumatera Barat, Sabtu (2/1).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Yayasan Perguruan Al Iman menggelar seri webinar membahas Filsafat Pendidikan Engku Syafei sebagai bagian dari refleksi perjalanan pendidikan di negeri ini. Acara webinar dilaksanakan dalam rangka sosialisasi kegiatan kelompok belajar (Pokjar) Universitas Terbuka  (Pokjar UT) Yayasan Perguruan Al Iman,  Bojonggede, Bogor, Jawa Barat.

Webinar ini dilaksanakan pada Sabtu (2/1) dihadiri oleh Prof  Fasli Jalal, Prof Musliar Kasim, Prof Dedi Prima Putra, para praktisi, dan calon mahasiswa Universitas Terbuka yang bergabung dengan Pokjar UT Al Iman. 

Engku Syafei, mantan Menteri Pendidikan di awal masa kemerdekaan adalah seorang pejuang kemerdekaan pendidikan dari cengkeraman birokrasi. Ia mendirikan INS (Indonesisch-Nederlandsche School) di Kayutanam, Sumatera Barat pada tanggal 31 Oktober 1926. Hal itu  sebagai reaksi terhadap corak pendidikan Barat di masa itu yang hanya mementingkan segi intelektual dan bercorak verbalistis, suatu pendidikan yang hanya menghasilkan pegawai rendahan yang dibutuhkan oleh si penguasa. 

Mengutip pandangan Engku Syafei tentang kebijakan nasional pendidikan, Khairunas,wakil Ketua Pokjar UT Al Iman selaku moderator diskusi menyatakan,  strategi pendidikan suatu bangsa semestinya ditentukan oleh konsep ideologi bangsa, bukan oleh konsep politik suatu pemerintahan. "Karena,  arah pendidikan suatu bangsa bukan untuk mengokohkan posisi golongan berkuasa, melainkan mengantarkan semua rakyat untuk mendapatkan kemerdekaan hakiki,”  ujar Khairunas dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (5/1).

Tampil sebagai pembicara pertama, Ahmad Supriyatna, praktisi pendidikan dari Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPPSDM) Bina Putera, Kampung Sebe Kramat, Kopo, Serang Banten membuka diskusi  dengan mengutip ungkapan Engku Sjafei yang selalu disampaikan ke pada murid-muridnya, “Engkau jadilah engkau”.

“Ungkapan ini menjadi inspirasi awal kami di Kampung Belajar Bina Putera membangun budaya belajar di kalangan para siswa. Sejak awal kami meyakinkan setiap peserta didik melalui aksi-aksi nyata, mengubah budaya belajar melalui strategi yang dikembangkan oleh Engku Syafei, yaitu melalui aktivitas nyata memberdayakan semua indera,” ujarnya.

Ahmad Supriyatna menambahkan, anak tidak hanya sekedar mendengar, akan tetapi lebih banyak mengalami.  Belajar melalui pengalaman nyata akan melipatgandakan pengalaman pribadinya dalam belajar. Ketika semua indera bekerja menunjukkan otak bekerja, dan semua syaraf-syaraf akan aktif, cara ini ternyata ampuh menggugah kesadaran setiap peserta didik tentang makna belajar. 

“Setiap anak diberikan keleluasaan untuk memilih aktivitas belajar sesuai potensi serta didekatkan dengan  kegiatan nyata dalam kehidupan sehari-hari, menguatkan mental kewirausahaan, dan kemandirian,” tuturnya.

Ia mengemukakan, kemandirian anak juga dilatih melalui penilaian mandiri. Sejak awal tahun pelajaran, mereka dibekali dengan “Buku Indikator”, yaitu buku kecil yang berisi parameter atau indikator setiap kompetensi tiap mata pelajaran. Keberadaan buku tersebut memberikan gambaran kompetensi apa saja yang perlu mereka kuasai, dan melalui buku itu juga mereka dengan mudah menemukan cara belajar yang efektif, memilih kegiatan yang melibatkan beberapa mata pelajaran.

“Cara ini melatih setiap anak untuk berpikir kolaboratif, berpikir kritis, pemecahan masalah, dan komunikatif (keterampilan berpikir abad 21),” ungkap Ahmad Supriyatna. 

Di  satu sisi, kata dia,  kegiatan ini sangat terasa manfaatnya terhadap perubahan cara berpikir anak memandang diri mereka, lingkungan, dan kehidupan mereka ke depan. “Namun, dari segi pengelolaan dan administrasi banyak sekali benturan yang terjadi, terutama apabila dikaitkan dengan standar-standar yang ditetapkan pemerintah. Namun semua ini makin mendewasakan pengelola dalam menghadapi tantangan," tegasnya.

Zulfikri Anas, ketua Pokjar UT Al Iman, dan penulis buku Kurikulum untuk Kehidupan sebagai pembicara kedua menegaskan bahwa “memaknai pemikiran dan filsafat pendidikan Engku Syafei harus diawali dengan memahami makna kehadiran manusia di muka bumi, dan memaknai hakikat belajar.

“Ungkapan 'jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan', merupakan isyarat bahwa kekeliruan kita dalam merancang pembelajaran berdampak pada pengingkaran akan kodrat dan fitrah manusia terlahir ke muka bumi. Setiap anak memiliki potensi unik, dan keunikan potensi inilah yang menjadi jaminan hidupnya kelak. Proses pembelajaran diharapkan dapat menyadarkan setiap individu anak akan potensi dan kekuatan yang ada dalam dirinya sejak dini,” paparnya.

Ia lalu mengutip pernyataan Inyik Ibrahim Marah Sutan, ayah angkat sekaligus guru Engku Syafei, “Pendidikan sekolah pemerintah tidak akan menumbuhkan watak bangsa yang rajin, giat dan produktif, hanya menumbuhkan semangat budak (untuk dapat makan  dari upah kerja) dan tidak memiliki solidaritas. Semangat budak itu terlihat pada yang dilakukan oleh murid di sekolah, misalnya jika seseorang murid menumpahkan tinta di mejanya, serta merta murid yang lain akan mengadu kepada guru. Maksudnya supaya temannya kena marah. Tak seorangpun yang menolong untuk membersihkannya.” 

Zulfikri menegaskan bahwa salah satu penyebab suburnya sikap mental budak seperti itu adalah sistem pembelajaran yang mengondisikan peserta didik sebagai pendengar dan penghafal materi, bukan pemikir. “Pengalaman belajar anak didominasi oleh semangat kompetisi untuk saling mengalahkan dengan  menggunakan satu parameter, yaitu capaian nilai rata-rata tertinggi untuk semua bidang pelajaran sebagai acuan,” tuturnya.

Kondisi ini, di samping memaksa anak untuk menjadi pendengar dan penghafal, juga menyuburkan  perilaku egois,  intoleran, semangat untuk saling menyingkirkan lebih kentara daripada semangat berkolaborasi. “Sistem belajar seperti ini juga berakibat pada kehilangan potensi unik, mereka akan menjadi orang-orang “generalis” tak tentu arah karena kehilangan orientasi hidup yang sesungguhnya,” ungkapnya. 

Orang-orang terpelajar lebih mengidolakan jabatan dan kedudukan bergengsi di masyarakat daripada berbuat sesuatu yang dilandasi oleh semangat membangun dan hati nurani. Pola pembelajaran warisan kolonial ini telah berakibat berkembangnya mental pekerja atau “budak” di kalangan orang-orang terpelajar.

“Mendidik setiap orang bermental pekerja gajian (terutama menjadi pegawai negeri), bukan mendidik orang untuk terampil yang memiliki kemauan kerja dan mandiri. Untuk mendapatkan kedudukan orang rela untuk saling sikut-menyikut. Orang lebih memilih menjadi penganggur daripada tidak dapat kerja sebagai pegawai negeri.  Kalaupun bekerja sebagai karyawan atapun wiraswasta, pada umumnya tidak relevan dengan bidang studi yang dipelajarinya sehingga seolah-olah setiap jenjang pendidikan itu berfungsi untuk menunda masa penangguran,” paparnya.

Pertanyaanya, apakah Pendidikan dinegeri ini sudah sepenuhnya lepas dari tradisi kolonial seperti ini? “Inilah PR kita terbesar di dunia pendidikan,” tegas Zulfikri. 

photo
Suasana webinar filsafat pendidikan Engku Syafei yang dadakan Pojkar UT Al Iman Bogor.  (Foto: Pokjar UT Al Iman)

Prof  Fasli Jalal, mantan wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan sekarang menjabat rektor Universitas Yarsi, Jakarta dan juga bagian dari pengurus INS Kayutanam tidak menampik kenyataan bahwa salah satu peninggalan Orde Baru adalah penyeragaman kebijakan, termasuk di dunia pendidikan. Hal itu dilakukan untuk menjamin pencapaian hasil pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh pelosok tanah air. 

Dia mengakui, mengelola pendidikan di negeri ini sangatlah kompleks persoalannya. “Esensi kemerdekaan belajar adalah memberikan hak terbaik kepada anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan bakat si anak maka selanjutnya anak akan tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik. 

“Dua tokoh pendidikan yang bersama-sama dan bersepakat mengembangkan pendidikan, Engku Syafei mengembangkan pendidikan yang berbasis kebangsaan dan kemandirian di wilayah sumatera, sementara Ki Hajar Dewantara di Jawa mengembangkan pendidikan berbasis nasionalisme dan kebudayaan”, ungkapnya. 

Fasli menegaskan bahwa di masa Orde Baru, sulit untuk memberikan ruang kepada INS untuk melanjutkan perjuangannya karena persoalan nomenklatur. Sewaktu INS Kayutanam dipimpin oleh AA Navis, secara terbuka menyatakan menolak ikut Ujian Nasional.  Strategi pembelajarannya mengkolaborasikan antara pelajaran umum dan kejujuran, ada seni rupa, teater, musik, dan kerajinan.

“Kita berharap, melalui kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di mana setiap sekolah didorong untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan keunggulan dan kearifan lokal seperti yang dilaksanakan oleh Bina Putera ini dapat dijadikan pengalaman praktik baik. Kita perlu mendorong sekolah-sekolah untuk percaya diri mengembangkan keunikannya,” kata Fasli Jalal.

Menurutnya, menandemkam INS Kayu tanam dan Bina Putera melalui   magang dan saling berdialog secara intensif dapat menjadi inspirasi bagi sekolah-sekolah lain terutama di Sumatera barat untuk merealisasikan prinsip kemerdekaan dalam belajar. ‘Sekaligus, gagasan-gasan yang kita diskusikan ini dapat menjadi rujukan rancangan RPJMD,” ujarnya.

Menurut Fasli, kajian-kajian seperti ini perlu dilanjutkan. Banyak lembaga pendidikan di Sumatera barat seperti Diniyah Puteri Padang Panjang, Inyiak Parabek, Canduang, Adabiah, perguruan Thawalib dan sebagainya. Perlu disusun buku sejarah perjalanan pendidikan yang mewarnai bangsa ini.

“Hal ini sekaligus membantu daerah-daerah lain dalam rangka membangun pendidikan anak bangsa dan mampu mengembangkan potensi dirinya, sehingga mereka mampu mengembangkan potensi spritual dan kemandirian.  Saya pribadi sangat mengapresiasi kegiatan ini, selamat kepada tim Pokjar UT Al Iman di bawah koordinasi Saudara H. E. Afrizal Sinaro”,  tegas Fasli. 

Musliar Kasim, mantan Wakil Menteri Pendidikan, dan saat ini aktif sebagai rektor Universitas Baiturahmah, Sumatera barat menyatakan, “Seungguhnya Kurikulum 2013 (K-13) sudah dirancang  mengarah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita, termasuk membuat anak menjadi seragam, ujian anak berpacu untuk mengejar ranking dan prestasi, justeru di K-13 sudah dibuang.”

K-13 memberikan peluang kepaada anak yang sudah mampu dan kompetensi boleh mengambil pelajaran yang ada di semester atas-nya. Bahkan ketika mereka di SMA diizinkan untuk mengambil materi yang dipelajari di perkuliahan. 

“Pada saat penyusunan k13, saya merasa bahagia karena salah satu tim pengarah adalah Farid Anfasa Muluk. Ia sebagai  pembina  di Yayasan INS) menyampaikan,  ‘Bahwa jika K-13 ini dapat diterapkan secara konsisten, saya orang yang paling pertama sekali menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ini akan membuat pembelajaran akan efektif, tidak menyiksa anak. Di dalam K-13 ditekankan bahwa anak tidak cukup hanya mampu dan memiliki kemampuan pengetahuan, akan tetapi juga harus memiliki kemampuan keterampilan dan sikap',” paparnya.

Prof Dedi Prima Putra dari Universitas Andalas, menyatakan bahwa melalui diskusi ini para peserta  mendapatkan gambaran sesungguhnya tentang pendidikan nasional. Ia mengutip Prof Emil Salim yang  pernah menyatakan bahwa pembelajaran menurut Engku Syafei dimulai dengan cara berpikir, akal, nalar lalu dibawa ke hati dan kemudian diimplementasikan melalui perbuatan. “Kita perlu meng-inline-kan pembelajaran in world looking dan out world looking, melihat ke dalam untuk menguatkan potensi kita, dan keluar untuk mewarnai dunia,” ujarnya.

Menurutnya, perlu upaya keras karena jangankan di jenjang Pendidikan dasar dan menengah, sikap kolonialisme, orientasi untuk mendapat jabatan dan upah yang besar masih mewarnai pola pikir para pendidik di Perguruan Tingg. “Nampaknya kita perlu merumuskan bagaimana caranya agar kita bisa membangun persepsi masyarakat terutama orang tua,”  ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement