Rabu 06 Jan 2021 06:28 WIB

Mahasiswa UMM Peduli Sekolah Terdampak Pandemi

Akses internet yang belum merata membuat beberapa sekolah tetap buka.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Gita Amanda
Tim Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan penyuluhan kesehatan secara rutin di Sekolah Dasar (SD) Desa Prancak Madura sejak Desember 2020.
Foto: Humas UMM
Tim Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan penyuluhan kesehatan secara rutin di Sekolah Dasar (SD) Desa Prancak Madura sejak Desember 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Tim Pengabdian Masyarakat oleh Mahasiswa (PMM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) melakukan penyuluhan kesehatan secara rutin di Sekolah Dasar (SD) Desa Prancak Madura sejak Desember 2020. Kegiatan ini dilakukan karena akses internet yang belum merata membuat beberapa sekolah tetap melakukan kegiatan secara luring meski di tengah pandemi.

Perwakilan tim, Venieda Dwi Fitria, mengungkapkan tidak banyak warga desa yang benar-benar menerapkan protokol kesehatan. Hal itu terlihat saat ia dan tim melakukan survei langsung ke Desa Prancak. Banyak warga yang tidak disiplin menggunakan masker dan seringkali berkerumun.  

"Angka positif Covid di sini memang rendah. Mungkin hal itu yang membuat mereka kurang memperhatikan protokol kesehatan,” jelas mahasiswa kelahiran Kalimantan ini.

Berangkat dari realita itu, Vanieda dan tim memutuskan untuk mengedukasi warga terkait protokol kesehatan. Hak ini utamanya kepada anak-anak yang bersekolah secara luring. Ia mengaku program kegiatan kelompok disambut baik oleh pemerintah setempat sehingga mendapatkan bantuan berupa masker, sabun cuci tangan dan hand sanitizer.

Anak kedua dari dua bersaudara ini menceritakan berbagai kesulitan yang dihadapi saat melakukan sosialisasi. Salah satunya terkait anak-anak yang tidak fasih berbahasa Indonesia. Sementara tidak ada satupun dari anggota timnya yang dapat berbicara bahasa Madura.

Anak-anak kelas tiga SD ke atas mungkin sudah bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik. Namun tidak ada satupun siswa kelas satu dan dua yang fasih berbahasa Indonesia. "Jadi kami meminta bantuan guru-guru untuk menerjemahkan,” jelasnya dalam pesan resmi yang diterima Republika, Selasa (5/1).

Selain itu, tim PMM UMM juga memiliki keterbatasan pada akses transportasi. Setiap hari mereka harus menempuh perjalanan selama tiga puluh menit dengan berjalan kaki dari tempat menginap sampai ke sekolah. Pasalnya, kepala desa menyediakan tempat tinggal mengingat dia dan tim berasal dari luar daerah.

"Namun jarak dari pintu masuk desa ke sekolah sangat jauh. Kami juga tidak memiliki kendaraan untuk dipakai di sini,” kata mahasiswa Fakultas Hukum UMM tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement