Rabu 06 Jan 2021 05:27 WIB

Tuntutlah Ilmu ke Negeri China, Hadits Lemah atau Shahih?

Seorang Muslim tidak boleh bermalas-malasan dalam menuntut ilmu.

Rep: Muhyiddin/ Red: Ani Nursalikah
Tuntutlah Ilmu ke Negeri China, Hadits Lemah atau Shahih? Sejumlah pria mengenakan masker membaca Alquran pada bulan suci Ramadhan di tengah pandemi Covid-19 di sebuah masjid Ibu Kota Sana’a, Yaman.
Foto: EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Tuntutlah Ilmu ke Negeri China, Hadits Lemah atau Shahih? Sejumlah pria mengenakan masker membaca Alquran pada bulan suci Ramadhan di tengah pandemi Covid-19 di sebuah masjid Ibu Kota Sana’a, Yaman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hadits “Tuntutlah Ilmu Walau ke Negeri China” merupakan salah satu hadits yang sering didengar dan disampaikan di berbagai majelis taklim atau pengajian. Namun, bagaimana dengan status hadits tersebut?

Hadits tersebut dimaknai sebagai perintah Nabi kepada umatnya untuk menuntut ilmu meskipun ke tempat yang sangat jauh. Karena itu, seorang Muslim tidak boleh bermalas-malasan dalam menuntut ilmu dan tidak boleh cepat merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya saat ini.

Baca Juga

Teks Arab hadits tersebut adalah, اُطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ (Uthlub al-‘ilm walau bi ash-shin).

Artinya: “Tuntutlah Ilmu, walau ke negeri China”.

Dalam buku M. Quraish Shihab Menjawab dijelaskan, hadits ini banyak ditemukan dalam berbagai kitab hadits. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, Abu Nu’aym dalam kitabnya yang berjudul Akhbar Ishfahan dan Abu al-Qasim al-Qusyayri dalam kitabnya al-Arba’in.

Menurut M Quraish, salah seorang jalur perawinya adalah Abu ‘Atikah Tharif bin Sulayman, yang dinilai sangat lemah, tidak tepercaya, dan pembuat hadits-hadits palsu. Dalam kitabnya yang berjudul al-Mawadhu’at (Kumpulan Hadits Palsu), Ibnu al-Jawzi menulis hadits itu batil dan mengutip pendapat Ibnu Hibban yang menyatakan hadits itu mempunyai jalur lain serta tidak memiliki dasar.

Memang, menurutnya, ada beberapa ulama yang menilai hadits tersebut sebagai hadits shahih. Akan tetapi, pandangan ini ditolak oleh banyak ulama. Di antaranya adalah ulama hadits Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam kitabnya yang berjudul Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah, jilid I, halaman 602.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement