Selasa 05 Jan 2021 06:11 WIB

Pengalaman WNI Masuk Karantina Singapura Kala Pandemi

Pengalaman masuk karantina selama pandemi di Singapura

Ratusan orang memadati pusat perbelanjaan Singapura di tengah pandemi Covid-19 yang mencatat total lebih dari 58.000 kasus dikonfirmasi dan 29 kematian pada 12 Desember 2020.
Foto: Anadolu Agency
Ratusan orang memadati pusat perbelanjaan Singapura di tengah pandemi Covid-19 yang mencatat total lebih dari 58.000 kasus dikonfirmasi dan 29 kematian pada 12 Desember 2020.

IHRAM.CO.ID, SINGAPURA -- Selama 14 x 24 jam saya harus berada di dalam ruangan. Tidak boleh keluar sama sekali. Tapi saya bukan dipenjara. Itu aturan stay at-home notice (SHN) pemerintah Singapura untuk mencegah virus korona menyebar.

Saya berdua dengan anak laki-laki saya mendarat di Bandara Changi, Singapura, pada 18 Oktober 2020 malam. Sebelum mencapai gerbang pengecekan imigrasi, saya sudah dipandu seorang petugas dari Immigration and Checkpoints Authority (ICA) Singapura.

Mungkin karena saya dan anak mendarat di Singapura dengan in principle approval (IPA) untuk student pass atau visa pelajar – belum berupa visa itu sendiri – kami diminta menunggu di sebuah kantor sementara ICA. Kantor ini sepertinya didirikan karena pandemi Covid-19.

Petugas meminta semua dokumen yang diperlukan, tentu termasuk paspor. Selain IPA untuk visa pelajar, kami diminta menunjukkan letter of approval (LoA) atau surat izin masuk Singapura yang dikeluarkan instansi pemerintah terkait.

Saya dan anak memiliki LoA dari Kementerian Pendidikan Singapura. Saya memperolehnya melalui National University of Singapore, tempat saya berkuliah. Anak saya mendapatkannya melalui sebuah sekolah swasta di Singapura di mana dia terdaftar.

Jika Anda ke Singapura untuk bekerja, maka surat izin masuk diperoleh dari Kementerian Tenaga Kerja. Kemenaker Singapura juga mengeluarkan izin untuk dependent atau orang yang bergantung kepada seseorang yang bekerja di sini, yang biasanya pasangan, anak atau orang tua. Sementara jika Anda ingin berobat ke Singapura, surat izin dikeluarkan Kementerian Kesehatan.

Setelah urusan surat beres, kami diarahkan keluar ke sebuah pintu khusus untuk setiap orang yang harus menjalani SHN. Hanya pengunjung dari dua negara yang terbebas dari kewajiban SHN ini, dari Brunei Darussalam dan Selandia Baru.

Pengunjung yang datang dari selain dua negara itu wajib melakukan SHN, namun dengan jumlah hari yang berbeda-beda. Pengunjung dari China daratan, Australia (kecuali negara bagian Victoria), Makao, Taiwan, Vietnam, dan Malaysia cukup 7 hari.

Pengunjung dari negara-negara selain disebut di atas, semuanya wajib ikut SHN selama 14 hari. Belakangan, awal Desember 2020, pengunjung dari Malaysia juga jadinya wajib 14 hari karena terjadi peningkatan kasus Covid-19 di negeri jiran itu.

Ada dua model SHN; tempatnya ditentukan pemerintah atau dipilih sendiri oleh orang yang wajib SHN. Model kedua ini hanya untuk warga Singapura yang usai bepergian ke negara-negara yang wajib terkena SHN.

Mereka harus memastikan SHN benar-benar dilakukan sendiri karena petugas akan memeriksa secara tempat pelaksanaan SHN. Sementara warga negara asing, tempat SHN akan dipilihkan pemerintah Singapura.

SHN ini berbayar, kecuali bagi warga Singapura yang sudah berada di luar Singapura sejak sebelum 27 Maret 2020. Peserta juga membayar untuk tes usap Covid-19. Tapi karena saya dan anak tujuannya untuk belajar, Kementerian Pendidikan Singapura menyubsidi sebagian biaya SHN kami dan bahkan anak saya membayar lebih kecil lagi karena kami ditempatkan sekamar.

Dari pintu khusus buat SHN itu, kami bersama beberapa penumpang lain diarahkan naik ke sebuah bus yang sudah bersiaga. Bus ini mengantar kami ke sebuah hotel bintang empat di distrik bisnis Singapura.

Petugas-petugas pemerintah dan hotel dengan sigap memproses kedatangan kami, mendata kami, dan melakukan survei kecil termasuk soal menu makanan yang menjadi pilihan kami selama SHN. Saya pilih menu ‘halal’.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement