Ahad 03 Jan 2021 19:24 WIB

Belajar Sabar dari 2020

Pandemi mengajarkan kita untuk pandai menahan diri.

Petugas yang mengenakan APD memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Tegal Alur, Jakarta, Selasa (29/12/2020). Pemprov DKI Jakarta menyiapkan lahan pemakaman di Rorotan sebagai antisipasi penuhnya TPU khusus COVID-19 di Pondok Ranggon dan Tegal Alur karena masih tingginya jumlah kematian akibat COVID-19.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Petugas yang mengenakan APD memakamkan jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Tegal Alur, Jakarta, Selasa (29/12/2020). Pemprov DKI Jakarta menyiapkan lahan pemakaman di Rorotan sebagai antisipasi penuhnya TPU khusus COVID-19 di Pondok Ranggon dan Tegal Alur karena masih tingginya jumlah kematian akibat COVID-19.

Oleh : Indira Rezkisari*

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun 2021 baru berjalan beberapa hari. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, agaknya tahun ini tidak semua melangkahkan kakinya dengan rasa optimistis.

Tahun 2020 memang berat bagi seluruh rakyat Indonesia juga dunia. Sebanyak 1,8 juta orang di dunia kehilangan nyawanya sudah akibat Covid-19. Saya rasa, hampir semua orang di Bumi ini kenal seseorang dalam hidupnya yang sudah tiada akibat virus corona baru ini.

Masalah terkait Covid-19 ini agaknya masih jauh dari tuntas di Indonesia. Angka positivity rate terus naik. Jumlahnya mendekati 30 persen, yang artinya satu dari tiga orang yang menjalani tes PCR divonis positif Covid-19.

Di Jakarta juga kita mendengar soal sulitnya mencari tempat tidur atau ruang bagi pasien positif Covid-19. Salah seorang sahabat saya yang positif Covid-19 ditolak IGD rumah sakit ketika ia minta dirawat. Karena akhirnya dia terkapar setelah muntah baru rumah sakit bersedia menampungnya.

Saat kondisinya membaik, ia diminta pulang. Semata karena rumah sakit yang didatanginya sudah penuh dan fokus merawat pasien dengan kondisi yang lebih berat.

Ketika mencoba mencari rumah sakit lain, dia dibiarkan terduduk di ruang IGD berjam-jam. Bukan karena rumah sakitnya tega. Rumah sakit tersebut penuh, sehingga dia harus menunggu giliran antre jika ada pasien yang dipindahkan dari IGD.

Sungguh berat situasinya.

Seorang nakes bercerita kepada saya. “Aku itu pulang kerja langsung pulang. Aku itu sudah tidak pernah ke mana-mana lagi. Aku tidak paham orang-orang yang santai banget. Kumpul-kumpul, masih makan di restoran,” keluhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement