Ahad 03 Jan 2021 17:20 WIB

Survei FSGI: Guru Setuju Sekolah Tatap Muka 49,4 Persen

Banyak guru keberatan PJJ karena materi sulit dan praktikum tak bisa secara daring.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Andri Saubani
Sejumlah siswa belajar secara daring dengan memanfaatkan akses internet gratis dari Pemprov DKI Jakarta di Balai RW 02, Galur, Jakarta Pusat, Selasa (3/11/2020). Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merekomendasikan sejumlah usulan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengubah sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) terkait adanya tiga siswa yang mengakhiri hidupnya diduga lantaran depresi.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Sejumlah siswa belajar secara daring dengan memanfaatkan akses internet gratis dari Pemprov DKI Jakarta di Balai RW 02, Galur, Jakarta Pusat, Selasa (3/11/2020). Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merekomendasikan sejumlah usulan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengubah sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) terkait adanya tiga siswa yang mengakhiri hidupnya diduga lantaran depresi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan survei kepada 6.513 guru dari sejumlah provinsi. Berdasarkan survei tersebut sebanyak 49,4 persen menyatakan setuju sekolah tatap muka Januari 2021, dan 45,3 persen tidak setuju.

Adapun yang menyatakan ragu-ragu sebanyak 5,4 persen. FSGI juga mencatat sejumlah alasan mengapa para guru-guru tersebut memilih setuju atau tidak setuju sekolah tatap muka dimulai Januari 2021.

Baca Juga

Beberapa alasan guru yang setuju antara lain mereka jenuh mengajar PJJ, yaitu sebanyak 22 persen. Sementara mayoritas guru yaitu sebanyak 54 persen setuju karena materi sulit dan praktikum tidak bisa diberikan secara daring.

Wakil Sekjen FSGI, Mansur mengatakan para guru merasakan peserta didiknya pasti mengalami kesulitan untuk mengerjakan materi pelajaran dengan kesulitan tinggi. "Karena meteri seperti itu tidak optimal diberikan secara daring, tetapi harus melalui pembelajaran tatap muka, minimal sepekan sekali," kata dia, Ahad (3/12).

Ia menambahkan, keinginan siswa dan guru untuk pembelajaran tatap muka tidak berbanding lurus dengan kesiapan sekolah. Baik itu dalam menyediakan infrastruktur maupun sosialisasi protokol kesehatan di sekolah.

Sementara itu, responden yang menolak buka sekolah mayoritas menilai kasus Covid-19 masih tinggi. Sementara itu, guru-guru juga takut tertular jika dilakukan pembelajaran di sekolah. Bagi guru yang sudah berusia di atas 50 tahun, mereka khawatir penyakit penyerta bisa menyebabkan virus Covid-19 menjadi fatal baginya.

"Mayoritas responden memang menolak buka sekolah tatap muka karena masih tinggi kasus. Pandemi belum dapat dikendalikan pemerintah, sehingga mereka sangat khawatir tertular Covid-19. Apalagi untuk guru-guru yang usianya sudah lebih dari 50 tahun dan disertai pula dengan penyakit penyerta seperti diabetes, jantung," kata dia lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement