Ahad 03 Jan 2021 15:46 WIB

Bung Karno dan Soal Bangsa Tempe Yang Kini Tak Relevan!

Kisah tempe yang ternyata berbahan impor

Pekerja menata peralatan saat menggelar aksi mogok berproduksi di salah satu pabrik tahu di Jakarta, Sabtu (2/1/2021). Sejumlah produsen tahu dan tempe di Jabodetabek menggelar aksi mogok berproduksi sebagai protes dari naiknya harga kedelai di pasaran yang mencapai Rp9.000 per kilogram dari harga normal Rp7.000 per kilogram. Mereka berharap pemerintah segera mengambil kebijakan menurunkan harga kedelai karena membebani pelaku usaha UMKM tersebut.
Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak A
Pekerja menata peralatan saat menggelar aksi mogok berproduksi di salah satu pabrik tahu di Jakarta, Sabtu (2/1/2021). Sejumlah produsen tahu dan tempe di Jabodetabek menggelar aksi mogok berproduksi sebagai protes dari naiknya harga kedelai di pasaran yang mencapai Rp9.000 per kilogram dari harga normal Rp7.000 per kilogram. Mereka berharap pemerintah segera mengambil kebijakan menurunkan harga kedelai karena membebani pelaku usaha UMKM tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Teguh Setiawan, Mantan Wartawan Republika

Inilah jejak tulisan mengenai polemik soal kedelai yang terjadi sewaktu era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yuhdoyono. Kala itu suasana sama dengan sekarang. Pengrajin tahu dan tempe mogok berproduksi karena harga kedelai terus membumbung.

Tapi berbeda dengan sekarang yang terkesan harga kedelai mendadak naik dengan cepat, dahulu kenaikkah harga itu bertahap. Minimal tidak secepat atau ngebut seperti sekarang. Ini pun makin aneh terasa, sebab sekarang ini kurs dolar AS terhadap rupiah terlihat cendurung turun.

Adanya hal itu, saya yakin pasti ada masalah dirantai perdagangan impor kedelai. Entah soal ini dari negara produsen, yakni negara di Canada, Amerika atau Brasil. Maupun juga akibat adanya permainan para perantara, baik importir atau tengkulak kelas menengah. Mereka bisa saja nekad menahan barang dengan tujuan menaikkan harga. Ini yang sampai sekarang belum jelas juntrungnya.

Kala di era SBY para pengrajin tahu tempe yang tergabung dalam  Koperasi Pengusaha Tahu Tempe Indonesia (Koptti) mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninjau kembali Peraturan Presiden (Perpres) No 32 tahun 2013. Mereka berharap agar soal pasokan kebutuhan kedelai kewenangannya diberikan kepada Perum Bulog dengan tujuan mengamankan harga dan menyalurkan kedelai.

"Perpres No 32 tahun 2013 itu tidak ada gunanya, karena tidak didukung seluruh menteri terkait," ujar Suharto, ketua Koptti DKI Jakarta kala iu.

Perpres itu ditetapkan SBY pada 8 Mei 2013, dan mulai berlaku pada saat diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin. Tanggal penetapan dan pengudangan sama, yaitu 8 mei 2013.

Idealnya, masih menurut Suharto, harga kedelai tetap Rp 7.450 per kilogram mulai 1 Juli 2013 dan pasokan ke pengrajin lebih lancar. "Yang terjadi justru sebaliknya. Harga lima merk kedelai naik antara Rp 7.550 sampai Rp 7.500," keluh Suharto.

Kenaikan harga ini, masih menurut Suharto, menunjukan Perum Bulog sama sekali tidak berperan, atau tidak mampu menjalankan tugas seperti diamanatkan dalam Pepres No 32 tahun 2013.

"Perpres itu tidak didukung menteri-menteri terkait; menteri perdagangan, menteri pertanian, menteri perindustrian, menteri koperasi, dan menteri keuangan," kata Suharto lagi saat itu.

Suharto juga menyesali keengganan pemerintah mengikut-sertakan Koptti dalam penyusunan petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) Perpres No 32 tahun 2013. Padahal, semula pemerintah akan merangkul Koptti sebagai pihak yang mengetahui fluktuasi harga kedelai di pasaran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement