Ahad 03 Jan 2021 14:53 WIB

MES Australia dan AFSI Bahas Perkembangan Fintech Syariah

Pembiayaan melalui fintech P2P Lendingdi Indonesia capai lebih dari Rp 120 triliun.

Pengurus Wilayah Khusus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Australia menggelar webinar ekonomi syariah yang  mengangkat topik  tentang fintech syariah, Senin (28/12).
Foto: Dok MES Australia
Pengurus Wilayah Khusus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Australia menggelar webinar ekonomi syariah yang mengangkat topik tentang fintech syariah, Senin (28/12).

REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Bekerja sama dengan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI), Pengurus Wilayah Khusus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Australia menggelar Education Talk dalam bentuk webinar pada Senin (28/12), dengan mengangkat topik fintech syariah. Agenda tersebut merupakan realisasi program MES Australia dalam memperkuat literasi dan pemahaman mengenai fintech syariah di kalangan komunitas Indonesia di Australia.

Ketua Umum MES Australia, Shaifurrokhman Mahfudz, mengungkapkan bahwa webinar ini juga ditujukan untuk menggali isu-isu penting dalam mendukung perkembangan fintech syariah di Indonesia serta menggali potensi pengembangan fintech syariah di Australia. “Selain itu, dari event ini kita berharap akan terbangun kolaborasi antara MES Australia dan AFSI,” tutur Shaif, panggilan akrabnya, dalam rilis yang diterima Republika.co.id,Ahad (3/1).

Peserta webinar ini terdiri dari pengurus MES Australia, para pemangku kepentingan (stakeholders) MES Australia, dan pengurus AFSI sendiri. Terdapat dua narasumber yang memaparkan materi dalam kesempatan tersebut, yaitu Emil Edhie Dharma (Wakil Ketua Umum dan Ketua Harian AFSI) dan Jamil Abbas (Head of Impact Development AFSI).

Dalam paparannya, Emil menyampaikan perkembangan sektor fintech di Indonesia, baik industri fintech secara umum maupun fintech syariah. Saat ini, jelas dia, para pelaku industri fintech di Indonesia bergerak di empat klaster, yaitu peer-to-peer (P2P) lending, inovasi keuangan digital, sistem pembayaran (payment gateway), dan equity crowd funding (ECF).

“Di antara keempat klaster fintech tersebut, klaster P2P Lending menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data terakhir menunjukkan pembiayaan melalui fintech P2P Lending telah mencapai lebih dari Rp 120 triliun,” ujar Wakil Ketua Umum AFIS yang juga alumni University of New South Wales, Australia, ini.

Lebih lanjut Emil memaparkan, di balik perkembangan fintech di Indonesia, terdapat berbagai permasalahan yang timbul. Di antaranya adalah tingginya kasus fintech ilegal. Tanpa edukasi dan tingkat literasi yang memadai, masyarakat rentan terjebak dalam praktik bisnis fintech ilegal dan harus menelan kerugian yang tidak sedikit.

“Di samping itu, pesatnya pembiayaan melalui P2P Lending menunjukkan meningkatnya transaksi ribawi karena keberadaan fintech syariah masih terbatas,” ungkap Emil.

Dengan posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, terdapat ekspektasi yang tinggi agar industri keuangan syariah memainkan peran yang semakin penting dalam perekonomian.

Hal itu didukung oleh ekosistem industri keuangan syariah yang suportif serta kerangka pengembangan industri fintech syariah yang komprehensif, menjadi harapan bersama agar industri fintech syariah di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang, dengan pangsa pasar yang terus meningkat di masa yang akan datang.

Sementara itu narasumber kedua, Jamil, menitikberatkan paparannya pada tinjauan kritis seputar pengembangan fintech syariah di masa mendatang. Dia mengungkapkan, pesatnya pembiayaan ribawi melalui fintech P2P Lending menjadikan upaya memerangi praktik ribawi yang selama ini telah berlangsung justru mengalami kemunduran. “Oleh karena itu, digital financial innovation sejatinya justru meningkatkan kompetisi bagi industri keuangan syariah,” ujar Head of Impact Development AFSI ini.

Pria lulusan University of Melbourne, Australia, ini menyatakan bahwa industri keuangan syariah dituntut bukan hanya untuk survive, tetapi juga bagaimana bisa bersaing sehingga terus bertumbuh baik dari sisi aset maupun pangsa pasar. “Pelaku industri keuangan syariah selama ini masih terpaku pada sharia-compliant, yaitu sebatas pada kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Karena itu, perlu ada upaya agar menjadi sharia-performing melalui pengembangan model-model bisnis yang inovatif dan optimalisasi akad-akad syariah,” jelas Jamil.

Ke depan, sebagaimana dipaparkan Jamil, perlu adanya sinergi dan kolaborasi antarelemen dalam ekosistem keuangan syariah agar industri keuangan syariah dapat berkembang lebih pesat lagi. “Selain itu, perlu upaya untuk terus meningkatkan trust agar masyarakat lebih percaya kepada lembaga keuangan syariah,” pungkasnya.

photo
Webinar ekomomi syariah yang diadakan oleh Pengurus Wilayah Khusus MES ausrlia menampilkan dua narasumber. prakitise ekonomi syariah.  (Foto: Dok MES Australia)

Dengan jumlah peserta yang mencapai hampir 50 orang, sesi tanya-jawab setelah pemaparan narasumber berlangsung semarak dan antusias. Beberapa hal yang dibahas antara lain terkait indikator kinerja fintech syariah, perkembangan fintech syariah di klaster payment gateway dan ECF, dan advokasi pengembangan fintech syariah.

Pengurus MES Australia mengungkapkan kesyukurannya atas kelancaran pelaksanaan webinar ini serta antusiasme peserta yang hadir, meskipun diselenggarakan secara virtual. “Agenda semacam ini diharapkan dapat memberikan insight berarti bagi komunitas diaspora Indonesia di Negeri Kanguru, dalam upaya menebar maslahat yang semakin luas bagi komunitas dari sisi ekonomi dan keuangan syariah,” tutur Shaif. 

Ketua Umum MES Australia menyambut baik kesediaan AFSI untuk menjalin kerja sama dengan MES Australia, sebagai bagian dari upaya mendukung perkembangan fintech syariah maupun industri keuangan syariah secara umum. “Webinar ini, yang merupakan kolaborasi pertama antara MES Australia dan AFSI, menjadi awal bagi kerja sama berikutnya di waktu mendatang,” tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement