Ahad 03 Jan 2021 02:00 WIB

Sorotan Gus Dur Soal Budaya Arab-Islam dalam Ceramahnya

Gus Dur merupakan budayawan kritis terhadap relasi budaya Arab-Islam

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Gus Dur merupakan budayawan kritis terhadap relasi budaya Arab-Islam
Foto: Antara/Maulana Surya
Gus Dur merupakan budayawan kritis terhadap relasi budaya Arab-Islam

REPUBLIKA.CO.ID, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan seorang budayawan par excellence sehingga menjadi kebanggaan Nahdlatul Ulama (NU) dan masyarakat umumnya. Suami Sinta Nuriyah Wahid itu juga dikenal sebagai seorang kiai yang mendobrak kejumudan. Keteladanannya menginspirasi banyak orang. 

Di atas itu semua, Gus Dur merupakan figur pengayom yang diterima berbagai golongan. Beberapa literasi menyebutkan, Gus Dur lahir pada 7 September 1940s. Namun, khususnya bagi kalangan Gusdurian sebutan bagi mereka yang mengikuti prinsip hidup Gus Durkiai asal Jombang, Jawa Timur, itu lahir pada 4 Agustus 1940. 

Baca Juga

Dia merupakan putra pasangan KH Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Secara garis nasab, dia pun berstatus cucu pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari. Sewaktu belia, Gus Dur pernah mengenyam pendidikan tinggi di Universitas al-Azhar (Mesir) serta Universitas Baghdad (Irak).

Di samping itu, Gus Dur muda juga pernah menuntut ilmu di Jerman dan Prancis. Jejak keilmuannya yang merentang dari Timur hingga Barat itu lantas membentuk pribadi Gus Dur sebagai insan yang religius sekaligus modernis. Rihlah keilmuan Gus Dur di luar negeri bisa dikatakan berakhir pada 1971.

Dia kembali ke Tanah Air. Sejak saat itu, dia juga banyak menulis seputar masalah kebudayaan. Tak jarang dia mengisi ceramah tentang kesenian di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Pada 1975, ceramah Gus Dur tentang kebudayaan Arab dan Islam sempat membuat kalangan aktivis dan seniman terhenyak. Sebab, dengan teliti dia menyoroti masalah kegagapan masyarakat Indonesia dalam mengindentifikasikan antara kebudayaan Arab dan Islam. 

Sebagian masyarakat saat itu disebut cenderung beranggapan, budaya yang Islami adalah yang serba-Arab. Padahal, pemahaman demikian tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun kesejarahan. Kondisi itulah yang menjadi keprihatinan Gus Dur.

Sosok yang sempat menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu memandang, kecenderungan tersebut tidaklah tepat. Bahkan, hal itu dapat menyebabkan bangsa Indonesia tercerabut dari akar budaya sendiri. Sebab, belum tentu unsur-unsur budaya Arab cocok dengan pola kehidupan masyarakat Tanah Air.   

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement