REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) menandai Tahun Baru 2021 dengan angka kasus Covid-19 yang tercatat lebih dari 20 juta kasus, Jumat (1/1) waktu setempat. Ini merupakan tonggak sejarah yang luar biasa setelah perayaan global menyambut tahun baru diredam oleh pandemi.
AS terbilang gagal dalam upayanya memadamkan penularan virus. Covid-19 menyebar dengan cepat ke seluruh negeri yang menyebabkan lebih dari 347 ribu meninggal dunia karena virus.
Dilansir laman Time of Israel, Universitas Johns Hopkins mencatat, AS mencapai rekor kematian harian pada Rabu (30/12) lalu, ketika lebih dari 3.900 orang meninggal karena Covid-19. Harapan seluruh penduduk adalah vaksin Covid-19 akan mengakhiri pandemi. Namun program vaksinasi AS masih diliputi kendala karena masalah logistik dan rumah sakit yang kewalahan menampung pasien.
Presiden terpilih AS Joe Biden telah mengkritik peluncuran vaksin yang bermasalah. Dia pun memohon agar penduduk AS untuk memakai masker.
Di bawah pemerintahan Trump, otoritas AS kerap memberikan pesan beragam tentang pemakaian masker, jarak sosial, dan pembatasan. Presiden pun berulang kali meremehkan risikonya.
Namun dalam pesan Malam Tahun Barunya, Trump memuji tanggapan pemerintahannya tentang pandemi. "Warga negara kita yang paling rentan sudah menerima vaksin, dan jutaan dosis dengan cepat dikirimkan ke seluruh negara kita," ujar Trump.
Hampir 2,8 juta orang di AS telah menerima dosis vaksin pertama. Namun angka tersebut jauh di belakang 20 juta inokulasi yang dijanjikan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump akhir tahun 2020.
Perusahaan Jerman BioNTech mengatakan bahwa pihaknya tengah berupaya meningkatkan produksi vaksin Covid-19 untuk mengisi kekurangan yang ditinggalkan oleh kurangnya suntikan lain yang disetujui di Eropa. Negara-negara termasuk Inggris, Kanada, dan AS menyetujui vaksin Pfizer-BioNTech lebih awal, dan sejak itu juga telah menerima suntikan lampu hijau oleh perusahaan AS Moderna atau Oxford-AstraZeneca.
"Situasi saat ini tidak cerah, ada lubang karena tidak adanya vaksin lain yang disetujui dan kami harus mengisi celah ini," kata salah satu pendiri BioNTech, Ugur Sahin, kepada media Der Spiegel Jerman.