Jumat 01 Jan 2021 13:05 WIB

Ekonomi 2021 dalam Perspektif Keislaman dan Kebangsaan

Di masa pandemi Covid-19 yang jadi isu penting adalah sektor kesehatan dan ekonomi.

Penumpang kereta api menunggu keberangkatan di stasiun Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (1/1/2021). PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divre III Palembang kembali mengoperasikan perjalanan Kereta Api Rajabasa Rute Palembang-Tanjung Karang Bandar Lampung (PP) yang sempat berhenti selama pandemi COVID-19 sejak 1 April 2020 yang lalu.
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Penumpang kereta api menunggu keberangkatan di stasiun Kertapati, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (1/1/2021). PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divre III Palembang kembali mengoperasikan perjalanan Kereta Api Rajabasa Rute Palembang-Tanjung Karang Bandar Lampung (PP) yang sempat berhenti selama pandemi COVID-19 sejak 1 April 2020 yang lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di masa pandemi Covid-19 yang menjadi isu penting adalah sektor kesehatan dan ekonomi. Kalau mementingkan ekonomi, maka akan berdampak pada kesehatan sehingga penanganan pandemi masih belum tertangani dengan baik.

Menurut Wakil Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr Syahrul Adam, dalam kondisi ini tetap dibutuhkan masukan ide dan gagasan dalam menggerakan ekonomi nasional. "Harapan dari diskusi ini dapat mencerahkan dan menambah optimisme menuju ekonomi Indonesia yang semakin maju dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Syahrul Adam saat membuka webinar mengenai "Ekonomi Indonesia 2021 Perspektif Keislaman dan Keindonesiaan" yang digelar FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Khazanah Iman Ilmu Amal.

Dalam webinar ini sebagai keynote speaker adalah Syahrul Adam dengan narasumber Faisal H Basri, Dr M Said Didu, Dr Muhammad Maksum, dan AM Hasan Ali. Dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Kamis (31/12), acara ini dipandu oleh Saepullah dan diskusi dimoderatori oleh Mukti Ali Qusyairi.

Di sisi lain, lanjut Syahrul Adam, pada masa pandemi ini ekonomi syariah dalam hal ini perbankan syariah, masih bertahan dan malah menunjukkan perkembangan yang baik. Sedangkan menurut dosen FSH UIN Jakarta, Muhammad Maksum, pada masa pandemi ini keuangan syariah masih stabil. Kendati secara agregat masih kecil, yakni 9,69 persen.

Bank syariah diakuinya mengalami pertumbuhan yang cepat, meski masih kecil ketimbang bank konvensional. Secara regulasi, ungkapnya, sudah mencukupi, baik itu regulasi perbankan syariah, regulasi institusi keuangan nonbank, penanaman modal syariah, dan regulasi yang berkaitan dengan sosial ekonomi, seperti wakaf, haji umrah, jaminan produk halal dan wakaf.

"Hanya umrah-haji saja yang mengalami gangguan, lantaran kebijakan Arab Saudi untuk menekan Covid-19 dan menghindari kerumunan," kata Maksum.

Dalam Undang-Undang Cipta Kerja pun, kata Maksum, aspek ekonomi syariah mendapatkan perhatian yang baik. Di antaranya, pertama, pemenuhan hak pekerjaan dan penghidupan yang layak. Kedua, UU Cipta Kerja untuk penyerapan tenaga kerja (globalisasi ekonomi dan persaingan usaha). Ketiga, pengurusan jaminan produk halal yang dulu membutuhkan tiga bulan, di UU CK hanya satu bulan. Keempat, pengurusan produk halal gratis dan bisa membuat pernyataan sendiri dan sertifikasi halalnya pun gratis.

Menurut Maksum, "UU Cipta Kerja positif bagi kemajuan ekonomi". Maksum menyatakan bahwa kita perlu optimistis dalam melihat masa depan ekonomi Indonesia, nilai-nilai agama perlu diimplementasikan dalam ekonomi. "Salah satu contoh apabila ada dua hal yang keduanya berpotensi kerusakan, maka hindari yang kerusakannya lebih besar, dalam hal ini adalah menyelesaikan pandemi dulu," katanya.

Ekonom senior Faisal Basri menyatakan bahwa krisis ekonomi saat ini berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Krisis sebelumnya banyak disebabkan oleh sektor keuangan, seperti krisis pasar modal atau krisis perbankan. Krisis saat ini dipicu oleh krisis kesehatan yang melanda 218 negara.

photo
Peserta webinar mengenai Ekonomi Indonesia 2021 Perspektif Keislaman dan Keindonesiaan yang digelar FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (31/12). - (Istimewa/Mukti Ali Qusyairi)

Di Indonesia, kasus Covid-19 semakin meningkat dan yang mengkhawatirkan kasus yang terpapar melebihi dari yang sembuh. Krisis bisa diselesaikan apabila dapat mengendalikan bahkan menyelesaikan masalah kesehatan. Menurut Faisal, penyelesaiannya tidak bisa hanya dengan melakukan kebijakan fiskal dalam bentuk memperlebar defisit dengan berutang, menjaga masyarakat terdampak tidak terpuruk dengan bantuan sosial, kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga, dan menggelontorkan lukuiditas.

Persoalan Indonesia, ungkapnya, disebabkan permasalahan Covid-19 dan obat mujarab krisisnya bersandar pada vaksin yang hingga kini masih terus diteliti dan diuji secara medis. Keinginan yang sulit dijalankan, yaitu kendati kasus Covid-19 naik, tetapi ekonomi tetap naik. Sebab, ekonomi bisa naik, jika kasus Covid-19 terus menurun.

Menurut Faisal Basri, persoalan paling mendasar ekonomi nasional adalah biaya logistik yang sangat mahal karena negara kepulauan. Padahal, negara sudah membuat instrumen yang cukup lengkap. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana instrumen itu disatukan, maka dibutuhkan transformasi ekonomi sebagai jalan untuk keluar dari krisis ekonomi ini. Indonesia mesti mengutamakan untuk menabung.

Ekonom Said Didu sebagai pembicara kedua menjelaskan, solusi mengatasi krisis saat ini adalah perlunya pengetatan pengeluaran, yaitu jangan ada kebocoran disebabkan oleh korupsi, perlu adanya efektivitas pendanaan untuk Covid-19, dan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu. Yakni, seperti menahan diri dari pembangunan infrastruktur, pengeluaran jangka panjang dikurangi, menghapus lembaga yang tidak perlu seperti stafsus milenial.

Solusi yang dibutuhkan, lanjut Said, adalah bagaimana menaikkan daya beli rakyat dan menambah uang yang berputar di rakyat, maka diperlukan pemikiran kreativitas untuk keluar dari krisis ekonomi.

Said menambahkan, ada dua hal yang menjadi modal bangsa Indonesia, yakni kita bergantung kepada pabrik Allah dan kepada sunnatullah. Yang dimaksud pabrik Allah, yaitu sumber daya alam (SDA) yang Allah berikan kepada bangsa Indonesia, dan sunnatullah yaitu meningkatkan konsumsi karena menyumbang tiga persen pertumbuhan ekonomi.

Lantaran ekonomi Indonesia ditopang oleh ‘ekonomi kerumunan’ seperti pesta, wisuda, seminar, pengajian, maka harus menyelesaikan pandemi ini; pemerintah bisa memberikan uang kepada rakyat, bukan barang atau sembako seperti saat ini, supaya uang berputar; jangan menaikkan harga-harga yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat. Intinya, kata Said Didu, butuh kerja sama antara pemerintah dan rakyat dalam memulihkan ekonomi dan menangani Covid-19 ini.

Menurut Said Didu, pemerintah dan rakyat harus bergerak bersama. Diperlukan pemikiran yang realistis, yaitu memperketat pengeluaran. "Pada 2021 pengeluaran hanya pada yang wajib-wajib saja, mengurangi pengeluaran yang sunah, menghilangkan yang mubah, apalagi yang haram harus dihentikan," katanya.

Adapun dosen UIN Syahid, Hasan berpendapat, krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 masih berlangsung, maka perlu ada fokus penanganannya. Dengan situasi ini, menurut Hasan, Indonesia perlu melakukan "Tirakat Nasional".

Penangananannya harus belajar kepada peristiwa pada masa Nabi Yusuf AS saat terjadi krisis ekonomi selama tujuh tahun, maka perlu melakukan tirakat atau puasa dalam hal negara adalah puasa dari utang. Meski sebetulnya, utang dilakukan bukan hanya oleh pemerintahan Jokowi, melainkan juga semasa Orla, Orba, dan lainnya.

Problem kesehatan dan ekonomi yang dihadapi Indonesia, menurut Hasan, memerlukan kerja sama, gotong royong, dan persatuan seluruh pihak dengan berlandaskan kepada ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan antar umat manusia sedunia). Optimisme dan keadilan yang diwujudkan dengan distribusi kekayaan bukan hanya ada pada segelintir orang, tetapi harus terdistribusi kepada yang lain.

Mukti Ali Qusyairi, selaku moderator, menutupnya dengan mengutip /maqashid al-syariah/ (tujuan-tujuan universal syariah), yaitu menjaga agama, jiwa/nyawa, akal, ekonomi, keturunan, keadilan, lingkungan, dan keutuhan bangsa dan negara. Diskusi ini dihadiri 85 peserta, terdiri dari para dosen, akademisi, aktivis, ulama, pembisnis, dan para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement