Jumat 01 Jan 2021 06:35 WIB

Refleksi Akhir 2020, PMII Sayangkan Pemerintah Bubarkan FPI

Beberapa masalah lainnya juga menjadi bahan refleksi PB PMII di akhir tahun 2020.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
FPI dibubarkan resmi pemerintah sejak Rabu (30/12).
Foto: Republika
FPI dibubarkan resmi pemerintah sejak Rabu (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak masih menyangkan kebijakan pemerintah yang membubarkan Front Pembela ISlam (FPI). Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai gegabah dan bertentangan dengan semangat reformasi dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Ketua Bidang Politik, Advokasi dan Kebijakan Publik Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), M Zeni Syargawi mengatakan, seharusnya pemerintah bersikap adil dan mengayomi semua Ormas. Menurutnya, bila ada oknum di dalam organisasi tersebut bermasalah dengan hukum, maka yang diberikan sanksi adalah oknum tersebut. 

"Bukan malah sebaliknya membubarkan ormas,” ujar Zeni dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Kamis (31/12).

Kasus tersebut menjadi salah satu kasus yang menjadi bahan refleksi PB PMII di akhir tahun 2020. Selain itu, Zeni juga mengungkapkan, beberapa masalah lainnya yang menjadi bahan refleksi PB PMII di akhir tahun 2020.

Dia juga menyinggung tentang penembakan terhadap enam anggota FPI. Menurut dia, pemerintah harus transparan dalam penanganan kasus ini. Jangan terkesan ada yang ditutupi. "Polri seharusnya sudah mengetahui siapa pelaku penambakan itu. Toh yang menembak itu kan anggotanya juga," ucapnya.

Selain itu, dia juga menyoroti masalah Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Menurut dia, sebelumnya pemerintah telah menjanjikan bahwa akan melibatkan mahasiswa dan elemen lainnya dalam pembahasan aturan turunan dari Omnibus Law ini. Namun, kata dia, faktanya mahasiswa tidak dilibatkan.

Terkait penanganan pemerintah terhadap penyebaran Covid-19, Zeni juga menilai, belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Update Corona per 30 Desember 2020 bertambah 8.002 orang menjadi 735.124 orang yang positif. Sementara, yang meninggal 21.944 orang.

Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah sistem penanganan yang dilakukan pemerintah belum ada sinergitas dari pusat hingga daerah. Kebijakan yang diambil pun lebih berorientasi mengambil keuntungan ekonomi dibandingkan kesehatan dan kemanusiaan.

“Misalnya, soal penggunaan rapid test, rapid antigen, atau swab bagi masyarakat yang melakukan aktivitas perjalanan antar daerah khususnya melalui jalur udara,” katanya.

Selain itu, pembatasan-pembatasan tempat umum dan aktivitas keramaian yang berpotensi besar menimbulkan penularan Covid-19 tidak secara adil diberlakukan. Menurut dia, hal itu perlu dievaluasi secara menyeluruh agar upaya menekan laju penularan Covid-19 bisa lebih maksimal.

Kemudian, Zeni juga menyinggung, tentang penanganan kasus korupsi yang masih tumpang tindih dan penanganannya terkesan setengah hati. "Masih banyak kasus-kasus korupsi yang tidak diusut tuntas," ujarnya.

Karena itu, dia mendorong, agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak tebang pilih dalam mengusut kasus korupsi hingga ke akarnya. Seperti kasus korupsi bantuan sosial, masyarakat harus tahu pengembangannya. Begitu juga dengan korupsi ekspor benur lobster, dia mempertanyakan apakah semua perusahaan yang mendapatkan izin ekspor sudah diperiksa terkait dugaan korupsi.

Selain itu, menurut dia, ada juga kasus korupsi suap yang menyeret salah seorang Komisioner KPU. Namun, hingga kini, publik belum mengetahui seperti apa penyelesainnya. Dia pun mempertanyakan Harun Masiku sebagai pemberi suap.

"Sederet kasus-kasus tersebut harus dituntaskan dan disampaikan endingnya ke publik," tutupnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement