Jumat 01 Jan 2021 05:45 WIB

Kerja Sama Pemerintah dan Rakyat Kunci Pemulihan Ekonomi

Diperlukan pemikiran kreativitas untuk keluar dari  krisis ekonomi.

Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah  Jakarta menggelar  webinar  bertajuk Ekonomi Indonesia 2021 Perspektif Keislaman dan Keindonesiaan,  Rabu (30/12).
Foto: Dok UIN Syarif Hidayatullah
Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar webinar bertajuk Ekonomi Indonesia 2021 Perspektif Keislaman dan Keindonesiaan, Rabu (30/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN Syarif Hidayatullah  Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Khazanah Iman, Ilmu, Amal menggelar webinar mengenai  “Ekonomi Indonesia 2021 Perspektif Keislaman dan Keindonesiaan”.

Acara itu menampilkan  keynote speaker  Wakil Dekan I FSH UIN Jakarta Dr  Syahrul Adam  MA. Adapun ,  narasumber adalah  Faisal H Basri, MA, Dr.  Ir  M Said Didu, MEng, Dr  Muhammad Maksum SH, MA, MDC, dan AM Hasan Ali MA. Acara dipandu oleh Saepullah dan diskusi  dimoderatori oleh Mukti Ali Qusyairi MA. 

Syahrul Adam menyatakan, di    masa pandemi saat ini yang menjadi isu penting  adalah kesehatan dan ekonomi. Kalau mementingkan ekonomi, maka akan berdampak pada 

kesehatan, sehingga penanganan pandemi  masih belum tertangani dengan baik. Di sisi lain,  pada masa pandemi  ini, ekonomi syariah dalam hal ini perbankan syariah, masih bertahan dan  malah menunjukkan perkembangan yang baik. 

“Harapan dari diskusi ini, dapat mencerahkan dan  menambah optimisme menuju ekonomi Indonesia yang semakin maju dalam kehidupan  berangsa dan bernegara,” kata Syahrul Adam dalam rilis yang diterima Republika.co.id. 

photo
Faisal Basri  (Foto: Dok UIN Syarif Hidayatullah)

Faisal Basri, pembicara pertama, menyatakan bahwa krisis ekonomi saat ini berbeda  dengan krisis-krisis sebelumnya. Krisis sebelumnya banyak disebabkan oleh sektor keuangan,  seperti krisis pasar modal atau krisis perbankan. Krisis saat ini dipicu oleh krisis kesehatan yang  melanda 218 negara. Di Indonesia semakin hari kasus Covid-19 semakin meningkat, dan yang  mengkhawatirkan kasus yang terpapar melebihi dari yang sembuh. “Krisis bisa diselesaikan  apabila kita dapat mengendalikan bahkan menyelesaikan masalah kesehatan,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Faisal,   penyelesaiannya tidak bisa hanya dengan melakukan kebijakan fiskal dalam bentuk memperlebar  defisit dengan berutang, menjaga masyarakat terdampak tidak terpuruk dengan bantuan sosial,  kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga, dan menggelontorkan lukuiditas. 

“Persoalan  Indonesia yaitu disebabkan permasalahan Corona, dan obat mujarab krisisnya bersandar pada  vaksin yang sampai saat ini masih terus diteliti dan diuji secara medis. Keinginan yang sulit  dijalankan di mana walaupun kasus Covid-19  naik akan tetapi ekonomi tetap naik. Sebab, ekonomi  bisa naik, jika kasus Covid-19  terus menurun,” papar Faisal.  

Dalam penutup Faisal Basri memberikan stetmen bahwa persoalan yang paling mendasar  dalam ekonomi nasional adalah biaya logistik   yang sangat mahal. Hal itu  karena Indonesia merupakan  negara kepulauan. 

“Padahal negara sudah membuat istrumen yang cukup lengkap. Yang menjadi permasalahan  adalah bagaimana instrumen  itu disatukan, maka dibutuhkan transformasi ekonomi sebagai jalan  untuk keluar dari krisis ekonomi ini. Selain itu,  Indonesia mesti mengutamakan untuk menabung,” kata Faisal Basri. 

photo
Muhammad Said Didu  (Foto: Dok UIN Syarif Hidayatullah)

Said Didu sebagai pembicara kedua menjelaskan bahwa solusi mengatasi krisis saat ini  adalah  perlu pengetatan pengeluaran. “Jangan ada kebocoran disebabkan oleh korupsi; perlu  adanya efektivitas pendanaan untuk Covid-19,  dan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu, seperti  menahan diri dari pembangunan infrastruktur, pengeluaran jangka panjang dikurangi, hilangkan  lembaga yang tidak perlu seperti stafsus milenial,” ujar Said Didu.  

Solusi yang dibutuhkan, lanjut Said, adalah bagaimana menaikkan daya beli rakyat dan  menambah uang yang berputar di rakyat. “Maka diperlukan pemikiran kreativitas untuk keluar dari  krisis ekonomi,” tuturnya.

Said menambahkan, “Ada dua hal yang menjadi modal kita sebagai bangsa Indonesia, kita bergantung kepada pabrik Allah dan kepada sunnatullah. “

Pabrik Allah yaitu  sumberdaya alam (SDA) yang Allah berikan kepada bangsa Indonesia, dan sunnatullah yaitu meningkatkan konsumsi, sebab menyumbang tiga persen pertumbuhan ekonomi. Oleh karena  ekonomi Indonesia ditopang oleh ‘ekonomi kerumunan’ seperti pesta, wisuda, seminar,  pengajian dan lain-lain, maka untuk  menyelesaikan pandemi ini;, pemerintah bisa memberikan uang kepada rakyat, bukan barang atau sembako seperti sekarang ini. Hal itu penting  supaya uang berputar. Tidak kalah pentingnya, jangan naikkan harga-harga yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat. 

“Intinya, butuh kerja sama antara pemerintah dan rakyat dalam memulihkan ekonomi dan menangani Covid-19 ini,” kata Said Didu.

Said Didu menutup pemaparannya dengan menegaskan bahwa pemerintah dan rakyat harus bergerak bersama. Maka diperlukan pemikiran yang realistis, yaitu dengan memperketat pengeluaran. “Di tahun 2021 pengeluaran hanya pada yang wajib-wajib saja, mengurangi pengeluaran yang sunah, menghilangkan yang mubah, apalagi yang haram harus dihentikan,” paparnya.

Sedangkan menurut Muhammad Maksum, pada masa pandemi  ini keuangan syariah masih stabil, walaupun secara agregat masih kecil, yakni  9,69 persen. Pertumbuhan bank syariah,  diakui mengalami pertumbuhan yang cepat, walaupun masih kecil dibandingkan dengan bank konvensional.

“Secara regulasi sudah mencukupi, baik itu regulasi perbankan syariah, regulasi institusi keuangan non perbankan, penanaman modal syariah,  dan regulasi yang berkaitan dengan sosial ekonomi, seperti wakaf, haji umrah, jaminan produk halal dan wakaf. Hanya umrah-haji saja yang mengalami gangguan, lantaran kebijakan Arab Saudi untuk menekan Covid-19 dan menghindari kerumunan,” kata Maksum.

Lanjut Maksum, dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) pun aspek ekonomi syariah mendapatkan perhatian yang baik. Ia menyebutkan,  pertama, pemenuhan hak pekerjaan dan penghidupan yang layak; kedua, UU CK untuk penyerapan tenaga kerja (globalisasi ekonomi dan persaingan usaha); ketiga, pengurusan jaminan produk halal yang dulu membutuhkan tiga  bulan, di UU CK hanya butuh satu  bulan; keempat, pengurusan produk halal gratis dan bisa membuat pernyataan sendiri, dan sertifikasi halalnya pun gratis. “UU CK positif bagi kemajuan ekonomi,” ujar Maksum.  

Maksum dalam stetmennya menyatakan,  “Kita perlu optimistis  dalam melihat masa depan ekonomi Indonesia. Nilai-nilai agama perlu diimplementasikan dalam ekonomi. Salah satu contoh apabila ada dua hal yang keduanya berpotensi adanya kerusakan, maka hindari yang kerusakannya lebih besar, dalam hal ini adalah menyelesaikan pandemi dulu.”

Hasan menyatakan bahwa krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 masih berlangsung, maka perlu ada fokus dalam penanganan pandemi Covid-19. Dengan situasi ini menurut Hasan,  Indonesia perlu melakukan “Tirakat Nasional”. Dan penangananannya harus belajar kepada peristiwa yang terjadi pada masa Nabi Yusuf AS, di mana terjadi krisis ekonomi selama tujuh tahun, maka perlu melakukan tirakat atau puasa dalam hal negara adalah puasa dari hutang. Meski sebetulnya, utang dilakukan bukan hanya oleh kepemerintahan Jokowi, melainkan juga oleh Orla, Orba, dan yang lainnya.

Problem kesehatan dan ekonomi yang dihadapi Indonesia, menurut Hasan, memerlukan kerja sama, gotong royong, dan persatuan seluruh pihak dengan berlandaskan kepada ukhuwah Islamiyah  (persaudaraan antarumat Islam), ukhuwah wathaniah (persaudaraan sesama anak bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan antarumat manusia sedunia). “Selain itu, optimisme dan keadilan yang diwujudkan dengan distribusi kekayaan bukan hanya ada pada segelintir orang saja, akan tetapi harus terdistribusi kepada yang lain,” ujar Hasan. 

Mukti Ali Qusyairi, selaku moderator, menutup webinar  dengan mengutip maqashid al-syariah (tujuan-tujuan universal syariah), yaitu menjaga agama, jiwa/nyawa, akal, ekonomi, keturunan, keadilan, lingkungan, dan keutuhan bangsa dan negara. 

Diskusi ini dihadiri sebanyak 85 peserta, terdiri dari para dosen, akademisi, aktivis, ulama, pembisnis, dan para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement