Jumat 01 Jan 2021 13:21 WIB

Orkestrasi Komunikasi Menghadapi Krisis

Komunikasi yang menjadi ruh dari kerja public relations.

Mohammad Akbar
Foto: doc
Mohammad Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Mohammad Akbar

(Penulis Buku PR Crisis)

Pandemi Covid-19 yang meluas secara global pada awal tahun 2020 telah memberikan pelajaran berharga. Salah satu pelajaran terpenting adalah bagaimana menyikapi krisis yang dimunculkan akibat penyebaran virus corona ini secara massif. 

Berkaca pada fakta empiris, pada masa pandemi ini cukup banyak terdengar perusahaan-perusahaan yang telah dirintis selama bertahun-tahun pada akhirnya harus menyerah pada keadaan. Dari pentas global, ada Nissan Motor Co. yang terpaksa menutup pabriknya di Amerika. Hal sama juga terjadi pada Comcar, perusahaan truk terbesar yang bangkrut setelah merintis usaha selama 67 tahun. 

Di sisi lain, masa pandemi Covid-19 ternyata memberikan berkah kepada sejumlah perusahaan. Salah satu yang cukup menyita perhatian adalah Zoom, perusahaan digital yang banyak digunakan untuk melakukan rapat virtual semasa periode work from home (WFH). Merujuk laporan keuangan kuartal I-2020, pihak Zoom mengeklaim mengalami pertumbuhan pendapatan mencapai 169 persen dari periode sebelumnya.

Lantas muncul pertanyaan, mengapa ada yang gagal dan sukses dalam menghadapi pandemi Covid-19? Inilah ujian yang sesungguhnya diberikan dari hadirnya pandemi Covid-19. Dalam hal ini, bagaimana setiap perusahaan, organisasi, kelompok masyarakat, maupun negara, harusnya bisa bersikap responsif menyikapi perubahan yang datang setiap saat. 

Meminjam pendapat ilmuwan Stephen Hawking yang menyebut “Intelligence is the ability to adapt to change” (kecerdasan adalah kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan). Kecerdasan di sini tentunya bukan sekadar menyiapkan strategi yang hanya bersifat reaktif, seperti halnya petugas pemadam kebakaran yang datang memadamkan api. Sejatinya, kecerdasan yang dituntut di sini adalah bagaimana melakukan mitigasi atau pencegahan yang terencana.  

Secara definisi, mitigasi itu dapat diartikan sebagai tindakan berkelanjutan yang diambil untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang terhadap adanya bahaya dan ancaman bencana. Sementara itu secara karakteristik, krisis itu lahir dari adanya ketidakstabilan tinggi yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan hidup organisasi atau bisnis perusahaan. 

Dalam banyak kasus krisis, munculnya kegagalan itu terjadi karena ketidakmampuan dalam membaca gejala awal (early symptoms) yang sebenarnya sudah terlihat sebelum bencana besar itu datang. Memang benar, pandemi Covid-19 ini bisa dikatakan sebagai bentuk force majeure crisis. Namun ketika upaya mitigasi risiko sudah menjadi bagian yang inheren dan tersistematisasi, seharusnya kerusakan yang dialami itu tidak berdampak sangat fatal hingga membuat kehancuran. 

Bagaimana Peran Public Relations

Selanjutnya dalam konteks menghadapi krisis, bagaimana seharusnya kerja public relations mengambil perannya? Adakah kontribusi yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi dampak atau kerusakan yang terjadi? Sejumlah contoh nyata sebenarnya sudah banyak terlihat bagaimana peran public relations memberikan kontribusi. Walau tidak tampak secara kasat mata, namun cara-cara mengkomunikasikan persoalan — baik secara internal maupun eksternal — sebenarnya sudah bisa dideteksi bagaimana kerja public relations itu berada di garis terdepan dalam menghadapi krisis. 

Kasus tenggelamnya pesawat AirAsia pada 2014 rasanya menjadi contoh cukup arif untuk menunjukkan bagaimana peran public relations. Peran public relations di sini cukup membantu maskapai asal Malaysia itu keluar dari krisis yang terjadi ketika 162 penumpang pesawat itu dinyatakan tewas setelah puing-puing pesawat ditemukan mengapung di perairan Laut Jawa. 

Komunikasi empatik yang dibangun oleh CEO AirAsia, Tony Fernandes, serta usaha-usaha mengisolasi isu tidak menjadi meluas, rasanya menjadi bukti nyata bagaimana kerja-kerja public relations cukup efektif mereduksi krisis yang muncul. Apa yang dilakukan Tony Fernandes saat menghadapi krisis AirAsia itu sejatinya tak lepas dari strategi komunikasi yang dirancang oleh tim komunikasi public relations

Sebaliknya, dalam kasus Covid-19, banyak pihak yang terkesan abai dan lalai sejak awal. Padahal, virus ini sudah terpublikasi secara masif menyebar sejak pengujung tahun 2019 di Wuhan, Cina. Dalam kasus di Indonesia, misalnya, tidak adanya komunikasi satu pintu untuk mengkoordinasikan potensi krisis yang pada akhirnya membuat kita terlambat dalam mengadang ekspansi Covid-19 ke negeri ini. 

Ironisnya, ketika virus ini sudah terbukti dapat menular antarmanusia, cukup banyak pejabat publik yang menjadikannya sebagai bahan candaan. Tanpa hendak mengarahkan telunjuk untuk mencari siapa yang salah, di sinilah menjadi penting kemampuan merancang komunikasi dalam meminimalisasi kerusakan yang dapat terjadi akibat krisis. 

Komunikasi yang menjadi ruh dari kerja public relations harusnya mampu dibangun untuk menenangkan sekaligus mencarikan solusi atas situasi yang terjadi. Ketika krisis datang dan ketidakpastian makin menguat, maka di sanalah dibutuhkan pintu untuk mendapatkan jalan keluar. Pintu-pintu itulah yang harusnya bisa dibangun lewat kerja-kerja public relations. Inilah tantangan yang disebut oleh Stephen Hawking sebagai sebuah kecerdasan menyikapi perubahan. 

Artinya, seorang praktisi public relations yang cerdas adalah sosok yang mampu melakukan mitigasi secara sistematis sekaligus mengkomunikasikannya kepada direksi atau para pemimpin perusahaan. Di sisi yang lain, kerja cerdas dari public relations itu pada akhirnya harus bisa menyatukan kekuatan semua stakeholders untuk saling membantu menghadapi krisis. 

Di sinilah keypoint saat menghadapi krisis. Ketika tahun 2021 sudah berada di depan mata, maka ikhtiar terbaik untuk membawa negeri ini melewati krisis akibat pandemi Covid-19 adalah bersatu. Untuk bisa menyatukan situasi masyarakat yang masih terpolarisasi akibat perbedaan politik, di sinilah diperlukan kerja-kerja public relations yang cerdas. 

Kemampuan membangun narasi-narasi positif dan memupuk sikap optimistis itu harusnya bukan lagi sekadar jargon saja. Tantangan besarnya adalah bagaimana membumikan kerja-kerja public relations itu bisa menjadi sebuah bentuk implementasi bahwa untuk menghadapi krisis itu harus ada orkestrator yang bisa menyatukan. 

Di sinilah kesempatan besar bagi kerja-kerja public relations untuk mengorkestrasi lahirnya narasi kebersamaan dalam menghadapi krisis. Dari mana harus memulainya? Rasanya, semua itu hanya bisa dimulai dari setiap individu yang peduli dan sadar untuk mulai membiasakan diri menghadirkan komunikasi yang menyatukan, bukan saling menyalahkan dan menjatuhkan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement