Kamis 31 Dec 2020 18:47 WIB

'Masyarakat yang Rukun Buat Hoaks tak Mudah Beredar'

Sebuah kelompok yang menjadi sangat homogen akan cenderung tidak toleran.

Hoaks (ilustrasi)
Foto: OJK
Hoaks (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah masa pandemi Covid-19, media sosial harusnya diisi dengan konten yang menyejukkan, meneduhkan, dan mendamaikan. Karena sangat fatal, jika medsos justru digunakan untuk menyebar hoaks, provokasi, kebencian dan memecah belah masyarakat. Pandemi yang sesungguhnya dihadapi bangsa ini adalah sebaran narasi yang dapat merusak persatuan melalui medsos.

Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho mengatakan bahwa sejatinya hoaks, misinformasi dan disinformasi hanya akan tumbuh subur di tengah ketidakpercayaan, di tengah kecurigaan, dan di tengah ketidakrukunan. Maka ia menyebut, kalau masyarakatnya rukun, saling pengertian maka secara umum hoaks itu juga tidak akan mudah beredar.

"Maka kalau kita lihat di Indonesia, setiap upaya baik itu literasi digital atau pemberian pemahaman kepada masyarakat itu perlu untuk merangkul para tokoh masyarakat. Apalagi kalau terkait dengan isu kerukunan, bentuk forum-forum silaturahmi untuk meredam berbagai isu yang meresahkan di masyarakat," ujar Septiaji Eko Nugroho di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Eko menyampaikan hal tersebut karena menurutnya media sosial adalah teknologi yang memungkinkan kita untuk mudah bersosialisasi dengan orang lain, dengan teman ataupun saudara kita. Tapi yang juga perlu diingat bahwa sosial media bisa membuat orang-orang menjadi berkelompok yang mengarah kepada homogen.

"Maka ketika sebuah kelompok menjadi sangat homogen, dia akan cenderung menjadi tidak toleran terhadap yang berbeda, baik itu suku, agama hingga pilihan politik. Hal ini menjadi masalah ketika fanatisme itu menjadi tumbuh subur dalam kelompok-kelompok itu,” tuturnya.

Oleh karena itu, menurutnya jika kita ingin damai dalam bermedia sosial maka kita tidak boleh fanatik, baik itu kepada tokoh politik atau kepada siapa pun yang berpotensi membuat kita tidak toleran terhadap yang berbeda. Jangan hanya melihat sudut pandang dari satu orang saja. Tetapi perlu juga bagi kita untuk mengenal yang lain agar kita paham konteks yang terjadi.

"Jangan buru-buru menghakimi ketika ada suatu permasalahan, harus dilihat dari berbagai prespektif. Prinsip-prinsip seperti itulah yang haru kita tanamkan kepada diri sendiri dan masyarakat. Sehingga kita akan berhati-hati dalam setiap membuat unggahan atau status di media sosial dengan tidak menghakimi orang lain," ucap Eko.

Selain itu, menurutnya salah satu tantangan yang ada di media sosial adalah banyaknya informasi yang sangat mungkin disalahpahami. Misalnya ada foto atau tulisan yang tidak lengkap atau sudah di edit lalu di share di aplikasi WhatsApp Grup (WAG) atau media sosial lain. Sehingga masyarakat diminta untuk tidak mudah percaya begitu saja, namun pastikan dulu kebenarannya.

"Apalagi kalau sampai hal ini kemudian ditambah dengan rasa tidak suka terhadap sesuatu itu hingga akhirnya dia terbiasa dan mentolerir disinformasi yang dia terima. Maka selain kita harus punya kemampuan untuk menyaring informasi, kita juga harus bisa menjaga suasana hati," ujarnya.

Maka menurutnya, literasi digital harus dibarengi dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk bisa bersikap toleran kepada yang berbeda. Karena menurutnya literasi digital adalah bicara mengenai skill kita dalam menyaring informasi yang ada saja. Tapi ia juga menjelaskan bahwa masalah hati, batin kita itu juga penting apakah cenderung suka dengan narasi-narasi damai atau malah nyaman dengan narasi provokatif yang menjelekkan orang lain.                                   

"Keduanya perlu didorong bersama, suasana rukun kita dengan orang yang berbeda dibarengi dengan skill untuk bermedia sosial. Jadi secara psikis kita juga harus membangun kesadaran keberagaman itu," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement