Kamis 31 Dec 2020 06:09 WIB
Cerita di Balik Berita

Wartawan Republika Kok Nonton Film Seks di Bioskop Esek-Esek

Saya diminta meliput fenomena film seks yang diputar di bioskop esek-esek.

M Subroto, Jurnalist Republika
Foto: Daan Yahya/Republika
M Subroto, Jurnalist Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

Kendati sudah jadi wartawan sebelumnya, aku tetap diperlakukan sama dengan reporter baru lainnya di Republika. Belajar jurnalistik lagi dari dasar, mulai teori sampai praktik-praktiknya.

Tahap pertama yang harus kami jalani adalah orientasi wartawan baru. Lamanya seminggu. Kami menjalani camp di Parung, Bogor, Jawa Barat.

Selama masa orientasi, calon wartawan Republika angkatan 1996 digembleng oleh banyak tokoh nasional dan wartawan senior. Kami diberikan pengetahuan tentang ke-Republika-an, ICMI, dan isu-isu nasional. Dan tentu saja dasar-dasar jurnalistik, seperti melakukan reportase, menulis berita, wawancara, kode etik jurnalistik, dan lainnya. Materi diberikan dalam bentuk teori dan praktik.

Selesai menjalani kawah candradimuka di Parung, selanjutnya kami diserahkan ke mentor. Mentor dipilih dari redaktur yang berpengalaman. Dia bertugas mendampingi wartawan baru untuk menjadi wartawan sungguhan.

Seorang mentor mendampingi 2-3 wartawan baru. Setiap hari selama sebulan penuh mentor memberikan bermacam-macam tugas. Malam hari sehabis liputan, reporter baru menjalani mentoring di kantor. Mentor mengevaluasi tugas-tugas yang diberikan.

Tugasnya bisa aneh-aneh. Ada yang diminta menyambangi kamar mayat malam hari, mewawancarai preman di terminal, meliput kue Subuh di Pasar Senen, atau mewancarai gelandangan di jalanan Jakarta. Kadang juga diminta meliput acara sungguhan. Hampir di tiap angkatan ada yang tak kuat menjalani masa mentoring ini.

Tugas liputan seharian itu tidak untuk dimuat. Tapi jika hasil reportasenya bagus, tak menutup kemungkinan akan muncul di koran.

Suatu malam sehabis mentoring, redaktur memanggil kami bertiga yang berada di bawah bimbingannya. Kami diminta untuk meliput suasana bioskop yang memutar film seks yang banyak menampilkan adegan dewasa, alias film esek-esek. Dia menjelaskan, hasil liputan itu akan digunakan untuk tulisan ficer di halaman Siesta.

Tentu saja kami bingung dengan penugasan itu. Mosok wartawan Republika diminta meliput film esek-esek? Apa nggak salah?

Kan nggak cocok itu buat pembaca Republika Mas,” protesku.

“Kita mau gambarkan fenomenanya. Bukan mau mempromosikan filmnya,” kata redaktur beralasan.

Beberapa saat kami berdebat. Mencoba memberikan alternatif lain. Tapi redaktur bersikukuh. Ya sudah, terpaksa kujalani tugas itu.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement