Selasa 29 Dec 2020 05:58 WIB

Memasang Foto di Sampul Alquran, Bolehkah?

Alquran dengan foto juga kerap didistribusikan dalam jumlah besar

Nama-nama Alquran (ilustrasi)
Foto: republika
Nama-nama Alquran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,Menempel foto di sampul atau di lembar pertama Alquran masih menjadi kasus yang menjadi pertanyaan sebagian umat saat ini. Di tengah masyarakat Indonesia, foto tersebut biasa ditempel di Alquran saku untuk Yasin untuk orang yang sudah meninggal dunia. Tak hanya itu, Alquran dengan foto juga kerap didistribusikan dalam jumlah besar saat hendak melakukan program baca tulis Alquran. Donatur yang menyalurkan bantuan pun ingin agar fotonya terpampang di sampul Alquran agar dikenang pembacanya.

Alquran juga dibagi-bagikan kepada masyarakat sebagai hadiah. Alquran gratis ini pun ditengarai menjadi media kampanye calon kepala daerah untuk menarik perhatian masyarakat. Saat itu, MUI bereaksi dan menganggap ulah sang calon bupati itu sebagai penghinaan terhadap Alquran, meski tak sampai ke pengadilan.

Allah SWT berfirman tentang kemuliaan Alquran dalam QS al-Waqiah ayat 77-80. "Sesungguhnya ia benar-benar adalah bacaan sempurna yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara. Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba Allah yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam."

Dalam tafsir Al Misbah, Prof Quraish Shihab menjelaskan, kemuliaan Alquran tercantum dalam kata karim yang ada pada akhir ayat ke-77 surah tersebut. Karim digunakan untuk menggambarkan terpenuhinya segala yang terpuji sesuai objek yang disifatinya. Sebagai kitab suci, Alquran memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki kitab-kitab agama samawi lainnya. Tuntunan yang jelas dan menyeluruh terkandung dalam Alquran sekaligus bukti-bukti kebenarannya. Pembuktian ini langgeng hingga akhir zaman.

Quraish melanjutkan, Alquran sudah terbukti menjadi sumber inspirasi dan ilmu. Orang awam memahaminya sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan, para ilmuwan menggali misteri yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran sehingga dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Kitab suci yang terdiri dari 30 juz dan 114 surah ini pun memberi sesuatu yang baru bagi generasi demi generasi.

Kemudian, Allah SWT melanjutkan firmannya: "Maka apakah—terhadap ucapan ini— kamu bersikap meremehkannya dan kamu menjadikan rezeki kamu dengan mendustakannya?" (QS al-Waqiah [56]: 81-82). Setelah mengagungkan Alquran pada ayat 77-80, Allah SWT mengecam mereka yang meremehkan Alquran lewat ayat tersebut.

Pakar tafsir lulusan Al Azhar ini pun mengungkapkan bahwa makna meremehkan dalam ayat tersebut merupakan arti kata mudhinun yang memiliki asal kata duhn, yakni minyak. Seperti kita tahu, minyak digunakan untuk melemaskan atau melemahkan material. Karena itu, pelemahan tersebut di-majaz-kan dengan kata melemahkan. "Maka, kata tersebut dipahami dan digunakan secara umum dalam arti meremehkan."

Quraish menjelaskan, pada zaman Rasulullah SAW, kitab suci Alquran diremehkan oleh kaum musyrikin. Alquran dilekatkan dengan sesuatu yang bersifat sihir, perdukunan, dongeng, dan mitos masa lampau. Sikap ini terlahir karena mereka menyadari tidak mampu membuat kata-kata serupa dengan Alquran meski menyadari betapa indah makna yang terkandung di dalamnya.

Lebih lanjut, ayat ini pun mengaitkan sikap meremehkan ini dengan kata rezeki. Quraish mengungkapkan, meski banyak ulama memahami kata rezeki tersebut sebagai nikmat-nikmat yang langsung diberikan Allah SWT dan disebut dalam ayat sebelumnya seperti kelahiran anak, tumbuhan, hingga air tawar, ada juga ulama lain yang menafsirkan berbeda. Mengutip Thabathaba'i, Quraish menjelaskan bahwa memahami rezeki yang dimaksud ayat tersebut, yakni kebajikan-kebajikan yang harusnya dapat diraih dengan memuliakan Alquran kemudian ditukar dengan kebohongan.

Ada juga yang berpendapat bahwa dalam konteks ini, Allah SWT mengatakan kepada kaum musyrikin yang merasa takut jikalau membenarkan Alquran akan mengurangi rezekinya. "Kamu takut jangan sampai berkurang rezeki dan perolehan kamu. Ini berarti kamu menjadikan cara perolehan rezeki dengan mengingkari Alquran," tulis Quraish.

Jika bisa menyimpulkan, tafsir ayat-ayat mulia ini adalah perintah Allah SWT kepada umat Islam untuk memuliakan Alquran dan larangan untuk meremehkannya. Ini pun berlaku pada adab kita sehari-hari dalam berinteraksi dengan Alquran.

Ketua Komisi Fatwa Al Azhar Syaikh Athiyyah Shaqr pernah menjelaskan,  di antara kemuliaan Alquran adalah tidak boleh disentuh kecuali oleh mereka yang suci. Para ulama mengatakan, segala hal yang dapat menyebabkan pelecehan terhadap Kitabullah atau bagian dari Kitabullah adalah haram. Para ulama juga telah membicarakan bentuk-bentuk pemuliaan Alquran dan mushaf yang memuatnya. Di antara bentuk pemuliaannya adalah tidak meletakkan Alquran di bawah bantal ketika tidur.

Imam Al Bayjuri dalam Hasyiyah al-Bayjuri mengatakan, "Haram meletakkan sesuatu, seperti roti dan garam pada mushaf karena hal tersebut mengandung pelecehan dan penghinaan (terhadapnya)." Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), hal tersebut termasuk dalam kaidah menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan (kemudahan)."

Fatwa MUI menjelaskan kewajiban  hukum menjaga kemuliaan Alquran. Berdasarkan fatwa tersebut, meletakkan sesuatu pada mushaf, termasuk menempelkan foto dan sebagainya, haram apabila terdapat unsur pelecehan dan penghinaan terhadap Islam. Alasannya dapat mengakibatkan tabaghudh (permusuhan) dan tafakhum (perselisihan).

Fatwa MUI juga diperkuat oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengenai fenomena banyaknya pencetakan Alquran dan kumpulan surah tertentu dari Alquran yang menyertakan foto seseorang dilengkapi jabatan, visi misi, atau embel embel lain di sampul dalam atau sampul luar Alquran.

Dalam pertimbangannya, DDII menjelaskan tentang dalil dalam QS an-Nisa 171.  "Katakanlah: 'Wahai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kalian) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus."

Adapun ghuluw bermakna berlebih-lebihan, baik dalam menghormati seseorang, menambah dan mengurangi syariat Allah, serta melakukan penyimpangan pemahaman dan pengalaman ajaran Islam.  Karena itu, DDII pun berpendapat bahwa menempelkan gambar atau foto seseorang pada cetakan Alquran dan kumpulan surah tertentu dari Alquran termasuk dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan melewati batas. Sikap ini dapat menjerumuskan seseorang kepada kemusyrikan dan bid'ah. Wallahu a'lam.

 

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement