Senin 28 Dec 2020 19:58 WIB

BWI: Indeks Wakaf Harus Komprehensif

Perlu diperhatikan pula aspek kinerja pengembangan aset wakaf dan distribusinya

Wakil Ketua BWI Imam Teguh Saptono
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Wakil Ketua BWI Imam Teguh Saptono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia, Imam T. Saptono, menyambut baik jika Indeks Wakaf Nasional (IWN) dikembangkan di Indonesia. Dukungan ini disampaikan, selama parameter yang digunakan sudah komprehensif.

"Kami menyambut baik adanya indikator IWN, sejauh parameter yang digunakan mencerminkan pengukuran yang komprehensif dan sesuai dengan parameter kunci keberhasilan wakaf," kata Wakil Ketua BWI, Imam T. Saptono, saat dihubungi Republika.co.id, Senin (28/12).

Yang dimaksud dengan komprehensif adalah mencakup kinerja dari unsur-unsur wakaf. Beberapa di antaranya yakni aspek pengukuran kinerja wakif dan kinerja nadzir.

Tak hanya itu, Imam menyebut dalam perhitungannya, perlu diperhatikan pula aspek kinerja pengembangan aset wakafnya serta kinerja distribusi/penyaluran. Terakhir, dampak wakaf di lapangan juga menjadi salah satu pertimbangan.

 

Sejauh ini, ia menyebut Badan Wakaf Indonesia telah melakukan kerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Kerja sama dilakukan dalam hal pengukuran indeks literasi wakaf nasional.

Terkait keberadaan Sistem Informasi Wakaf (Siwak) Kementerian Agama, ia menyebut hal itu lebih ke arah inventaris aset wakaf. Sementara keberadaan IWN, nantinya sebagai alat untuk mengukur efektivitas dari program wakaf

Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Indonesia memiliki potensi wakaf yang besar. Menurut data Kementerian Agama, tahun 2020 wakaf tanah di Indonesia memiliki potensi seluas 52.475 hektar, sementara potensi wakaf uang Rp 3 triliun.

Meski demikian, masih terdapat permasalahan serta kesenjangan yang tinggi antara wakaf tanah dengan zakat. Beberapa permasalahan yang ada yakni kurangnya profesionalisme nazhir wakaf, dukungan anggaran dari pemerintah yang minim, minimnya data, serta perkembangan wakaf antarwilayah dan waktu yang tidak dapat diperbandingkan.

Dosen IPB University dari Departemen Ekonomi Syariah, Dr Irfan Syauqi Beik, sebelumnya menyebut permasalahan di atas muncul karena belum adanya suatu indikator atau indeks yang menjadi acuan terkait kondisi perwakafan di Indonesia. Hal ini mencakup tingkat makro maupun mikro.

“Berangkat dari pentingnya hal tersebut maka kami melakukan riset serta mengembangkan indeks wakaf nasional,” kata dia dalam keterangan yang didapat Republika, Ahad (27/12).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement