Senin 28 Dec 2020 10:12 WIB
TEROPONG REPUBLIKA 2020

Sepak Bola (Bukan) Ugal-ugalan

PSSI dihadapkan pada merancang solusi atas dihentikannya kompetisi Liga 1 dan Liga 2.

PSSI
Foto: Antara/Noveradika
PSSI

Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan isu penting yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana persoalan serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi. 

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Mohammad Akbar

Redaktur Olahraga Republika

“In the midst of chaos, there is also opportunity.” (Di tengah kekacauan, ada saja kesempatan)

Sepenggal kalimat dari ahli strategi Sun Tzu itu rasanya cukup pantas untuk merespons persoalan yang kini masih melilit sepak bola nasional. Sun Tzu adalah seorang filusuf Cina yang pernah melahirkan karya maestro bernama the Art of War

Dalam perspektif positif, apa yang disampaikan Sun Tzu tadi, sejatinya menyelipkan harapan bahwa kekacauan yang diakibatkan pandemi Covid-19 ini masih ada peluang untuk melakukan perubahan. Pertanyaan mendasarnya, mampukah sepak bola Indonesia itu berubah menjadi lebih baik ketika urusan domestik masih belum bisa dituntaskan?

Apa itu urusan domestik? Jika kita berkaca pada PSSI sebagai induk otoritas sepak bola nasional, persoalan fundamental yang masih dihadapi adalah kepemimpinan. 

Dalam hal ini, PSSI di bawah kendali Mochammad Iriawan masih dihadapkan pada usahanya merancang solusi atas dihentikannya kompetisi Liga 1 dan Liga 2.  Meski sempat memberi harapan untuk melanjutkan kompetisi pada Oktober silam, namun Polri — lembaga yang sebenarnya membesarkan pria yang akrab disapa Iwan Bule ini — tidak mengeluarkan izin untuk melanjutkan kompetisi. 

Suara-suara sumbang pun mulai terdengar. Purnawirawan Polri bintang tiga itu dinilai tak cukup kuat untuk memberikan kepastian dan jaminan buat kelanjutan kompetisi di negeri ini. Inilah tugas besar yang harus dibenahi oleh Iwan Bule dan PSSI untuk menatap 2021. 

Di saat vaksin Covid-19 sudah mulai disiapkan secara masif pada tahun depan, inilah momentum bagi PSSI untuk bergerak cepat menyiapkan kompetisi. Tapi sekali lagi pertanyaan menyelip, mampukah semua penduduk negeri ini menjalankan protokol kesehatan secara ketat sehingga membuat kompetisi di Indonesia bisa kembali bergulir? 

Di sini, kita memang harus bersikap proporsional bahwa untuk memastikan kompetisi bisa dilanjutkan maka tidak menjadi tanggungjawab PSSI. Masyarakat sebagai stakeholder utama harus bisa saling meyakinkan dan menguatkan para pengambil kebijakan bahwa kompetisi sudah selayaknya digelar pada tahun depan. Dengan digulirkannya kompetisi maka roda-roda bisnis dan euforia bisa dihidupkan kembali dari mati surinya.

Selain persoalan kompetisi, gunjingan miring dari PSSI adalah persoalan integritas. Mendekati pengujung tahun ini, beredar kabar tentang ‘jual-beli’ jabatan manajer timnas U-19. Andai rumor itu benar adanya, rasanya menjadi tamparan keras kepada Iwan Bule yang pernah berjanji untuk membebaskan PSSI dari oligarki politik dan modal. 

Memang benar untuk menjadi seorang manajer, butuh kepiawaian untuk menjadi ‘mesin uang’ buat memenuhi semua kebutuhan teknis para pemain maupun tim. Namun ketika proses pencarian dilakukan secara lelang tanpa disertai oleh kapasitas dan tekad memajukan timnas, rasanya hal itu akan menjadi sia-sia saja. 

Pertanyaan kembali muncul, memangnya selama ini orang-orang yang mengelola timnas itu sudah bulat tekadnya untuk kepentingan timnas ketimbang urusan bisnis kelompok semata? Sekali lagi, pertanyaan usil semacam ini harus benar-benar dibuktikan, bukan sekadar meresponsnya secara normatif.   

Ingatlah, peringkat timnas Indonesia versi FIFA yang tak kunjung membaik, menjadi lecutan untuk memperbaiki diri. Rasanya kalimat ini terdengar basa-basi saja. Tapi inilah yang harus terus digaungkan. Berdasarkan pengumuman yang disampaikan pada 10 Desember lalu, Indonesia berada di posisi ke-173. Posisi itu tertinggal jauh dari Thailand (posisi 111), Filipina (posisi 124), Myanmar (posisi 137), Malaysia (153), Singapura (158), serta Kamboja (posisi 172). 

Tentunya terasa sangat malu jika melihat hasil raport terbaru FIFA. Untuk itu, PSSI di bawah komando Iwan Bule sudah saatnya bekerja lebih serius dan fokus pada prestasi. Rumor yang sempat beredar kalau orang nomor satu PSSI itu berniat maju ke dalam kontestasi pilkada pada 2023, tentunya jangan sampai terjadi, seperti halnya Letjen TNI (Purn) Edy Rahmayadi yang kini memilih menjabat sebagai gubernur Sumatera Utara. 

Sebagai penggemar timnas dan sepak bola nasional, kita semua sudah sangat dahaga prestasi. Sudahlah, jangan lagi menjadikan PSSI itu sebagai batu loncatan untuk mengejar ambisi pribadi. Sebaliknya, bagaimana mengembalikan muruah Soeratin Sosrosoegondo untuk menjadikan PSSI sebagai alat pemersatu serta pengangkat martabat bangsa di pentas dunia. 

Semoga saja, kekacauan yang sudah terjadi di sepanjang 2020 ini memberikan pelajaran untuk lekas memperbaiki diri. Menyitir motivasi dari Mahatma Gandhi bahwa berusaha keras itu adalah kemenangan terbesar. Inilah yang dibutuhkan sekarang untuk memajukan sepak bola nasional. Berusaha menghidupkan kembali kompetisi sambil menanti PSSI yang bisa dikelola secara profesional, bukan secara ugal-ugalan!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement