Sabtu 26 Dec 2020 21:10 WIB

Pemanfaatan Teknologi di Sektor Pendidikan Masih Rendah

Indonesia peringkat 56 dari 53 negara dalam pemetaan WDCR 2020.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Dwi Murdaningsih
 Seorang anak sekolah dasar menghadiri kelas online di rumahnya di Seoul, Korea Selatan, 26 Agustus 2020, ketika sekolah-sekolah di Seoul dan sekitarnya kembali ke kelas-kelas terpencil untuk melindungi siswa dan memperlambat penyebaran virus corona baru. Siswa sekolah menengah atas tidak boleh beralih ke kelas online.
Foto: EPA-EFE/YONHAP
Seorang anak sekolah dasar menghadiri kelas online di rumahnya di Seoul, Korea Selatan, 26 Agustus 2020, ketika sekolah-sekolah di Seoul dan sekitarnya kembali ke kelas-kelas terpencil untuk melindungi siswa dan memperlambat penyebaran virus corona baru. Siswa sekolah menengah atas tidak boleh beralih ke kelas online.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Literasi digital di Indonesia masih menemui banyak tantangan. Hal itu diungkapkan Ahli Utama PTP Pusdatin Kementerian Pendidikan dan Ke bu dayaan Republik Indonesia (Kemen dikbud RI), Gogot Suharwoto.

Ia mengatakan, Indonesia berada di peringkat 56 dari 63 negara yang mengikuti pemetaan World Digital Competitiveness Ranking 2020 (WDCR 2020). WDCR ini mengukur kapasitas dan kesiapan 63 negara untuk mengadopsi dan mengeksplorasi teknologi digital, dalam melakukan transformasi ekonomi dan sosial.

Baca Juga

Pemeringkatan tersebut bergantung pada tiga faktor, yakni pengetahuan, teknologi, dan kesiapan masa depan. Aspek faktor pengetahuan dan teknologi Indonesia terbilang menurun dari tahun lalu dengan skor 63 (untuk faktor pengetahuan) dan 54 (untuk faktor teknologi). Sementara itu, faktor kesiapan masa depan dinilai meningkat atau stabil dari tahun lalu dengan perolehan skor 48.

Gogot mengatakan, literasi digital Indonesia belum terekstrak secara lembaga di semua lini sektor pendidikan. Padahal, sektor tersebut paling banyak berbicara tentang literasi digital.

"Jadi, ngomong-nya literasi digital, orang paling banyak gencar ngomong itu orang pendidikan, kampus, sekolah, pakar. Tetapi, ternyata sektor kita tuh paling rendah pemanfaatan teknologi nya, dari segi utilisasinya," katanya.

Hal ini pun, lanjut Gogot, menjadi tantangan tersendiri. Hal ini juga terlihat dalam proses pembelajaran jarak jauh. Dalam proses ini sebanyak 86 persen tenaga pengajar hanya memberi pekerjaan rumah.

Dari sumber Hasil Survei Belajar Dari Rumah Puslitjak Kemendikbud RI, ada 85,9 persen siswa SD, 86,4 persen siswa SMP, 87,5 persen siswa SMA, dan 86,9 persen siswa SMK yang belajar dari rumah dengan cara mengerjakan soal-soal dari guru.

Sementara itu, ada 33,9 persen siswa SD, 47,1 persen siswa SMP, 59,7 persen siswa SMA, dan 49,1 persen siswa SMK yang belajar dari rumah dengan cara belajar dari sumber belajar digital, seperti Youtube dan Google.

Kemudian, ada 18,2 persen siswa SD, 25,6 persen siswa SMP, 41,7 persen siswa SMA, dan 24,2 persen siswa SMK belajar dengan cara belajar dari aplikasi sumber belajar daring, seperti Rumah Belajar, Ruangguru, dan Zenius.

Menurut Gogot, hal tersebut adalah efek dari digitalisasi yang rendah. Kompetensi digital di kalangan para tenaga pelajar juga sudah seharusnya ditingkatkan.

Saat ini, guru diharapkan memahami semua teknologi, kemudian mampu menggunakan teknologi sesuai dengan apa yang diambil, baru nanti membuat konten sendiri. Kemendikbud RI pun sudah mengadakan program PembaTIK level 1 tahun 2020 (tahap 1 dan 2) dengan 70.312 peserta.

"Kita sudah punya modulnya, kita juga edukasikan ke masyarakat, ke guru, ke siswa, ke orang tua juga. Ini bagian dari gerakan literasi digital nasional. Kita sudah berikan kuota, dan kurikulum sudah kita perbarui," ujarnya.

Pelajaran TIK yang dulu hanya seputar mengenal komputer atau menggunakan perangkat pun telah ditingkatkan. Kini, TIK jauh lebih luas, termasuk belajar mengenai teknik komputer, jaringan komputer, hingga melakukan analisis data.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement