Sabtu 26 Dec 2020 19:02 WIB

Kerapatan Sosial Melampaui Kata-Kata

Kerja-kerja nyata lintas agama ini sebentuk kerapatan sosial yang melampui kata-kata.

Sejumlah warga berdoa bersama pada Doa Damai Lintas Iman di Taman GOR, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (2/12/2020) malam. Doa bersama yang diikuti perwakilan seluruh agama dan diinisiasi Gerakan Perempuan Bersatu Sulawesi Tengah itu digelar sebagai sikap penolakan terhadap kekerasan dan teror sekaligus kepedulian kepada keluarga empat warga Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi yang tewas setelah diserang kelompok yang diduga Mujahidin Indonesia TImur (MIT).
Foto: ANTARA/Basri Marzuki
Sejumlah warga berdoa bersama pada Doa Damai Lintas Iman di Taman GOR, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (2/12/2020) malam. Doa bersama yang diikuti perwakilan seluruh agama dan diinisiasi Gerakan Perempuan Bersatu Sulawesi Tengah itu digelar sebagai sikap penolakan terhadap kekerasan dan teror sekaligus kepedulian kepada keluarga empat warga Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi yang tewas setelah diserang kelompok yang diduga Mujahidin Indonesia TImur (MIT).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mukti Ali Qusyairi; Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat

Dalam momen Hari Natal 2020 ini, izinkan saya bercerita sedikit tentang sedekah/ pemberian sebagai simbol konkret kerukunan, tali kasih, dan silaturahim antaragama. Sebentuk cerita fikih—bukan cerita fiksi—yang ada dalam teks dan konteks realitas, living.

Syahdan, dahulu kala, di masa peradaban kuno Islam, pernah terjadi perdebatan di antara para ulama lintas mazhab tentang hukum memberi sedekah yang berharap mendapatkan pahala dari Allah, yang disebut al-shadaqah al-thathawwu’, oleh orang Muslim kepada non-Muslim. Pertanyaannya apakah boleh seorang Muslim melaksanakan shadaqah al-thathawwu’ kepada non-Muslim dan apakah masih tetap mendapatkan pahala?

Perdebatan ini tercatat dalam kitab al-Maushu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 27/hal. 333, yang diterbitkan Wizarah al-Auqaf wa al-Syuun al-Islamiyah, Lembaga Wakaf dan Urusan Keislaman, Kuwait—semacam Kementerian Agama-nya Kuwait.

Sebagian besar ulama berpendapat, seorang Muslim dibolehkan secara mutlak bersedekah kepada non-Muslim, baik non-Muslim yang berdamai dengan Muslim (dzhimmiy), non-Muslim yang melakukan perjanjian damai untuk hidup bersama Muslim (mu’ahad), non-Muslim yang mendapatkan perlindungan (mustaman), maupun non-Muslim yang memusuhi dan memerangi orang-orang Muslim (harbiy).

Di antara ulama yang berpendapat tersebut, yaitu al-Syarbiniy, salah satu ulama bermadzhab al-Syafiiyah, yang dengan lugas menyatakan halal sedekah kepada non-Muslim secara mutlak, baik non-Muslim yang berdamai dengan Muslim (dzhimmy) maupun non-Muslim yang memusuhi orang-orang Muslim (harbiy).

Pendapat ini, para ulama melandaskan pada firman Allah, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang-orang yang ditawan.” (QS al-Insaan: 8). Ayat ini bersifat umum dan universal berlaku bagi umat Islam kepada seluruh umat manusia, siapa pun, tanpa melihat agamanya apa.

Ibnu Qudamah memperjelas bahwa dalam ayat ini terdapat kata “dan orang-orang yang ditawan”, yang dimaksudkan adalah orang-orang non-Muslim yang memerangi orang-orang Muslim yang berhasil diamankan. Sebab pada saat itu, orang-orang yang ditawan tak lain adalah non-Muslim yang menyerang dan memerangi orang-orang Muslim atau diistilahkan dengan harbiy. Nah, kepada harbiy saja dibolehkan memberikan makanan atau sesuatu materi yang disukai, apalagi kepada non-Muslim yang hidup berdamai dengan orang-orang Muslim maka jauh lebih dibolehkan lagi.  

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa orang-orang Muslim dibolehkan bersedekah kepada non-Muslim yang hidup berdamai bersama orang-orang Muslim, dan tidak dibolehkan bersedekah kepada non-Muslim yang memusuhi dan memerangi orang-orang Muslim. Ini adalah pendapat al-Kashkafiy. Pendapat ini, bukan soal sedekahnya yang dilarang, tetapi adanya permusuhan dan perang yang dikhawatirkan mengancam keselamatan. Sehingga, sejatinya sedekah kepada non-Muslim adalah absah.

Mari kita simak sejarah masa Nabi Muhammad SAW. Syahdan, ada banyak Muslim yang pada saat itu masih banyak orangtua, ayah dan ibu, saudara kandung, dan paman serta handai tolannya masih memeluk agama atau keyakinan lamanya alias tidak memeluk Islam.

Seperti dalam kisah Asma’ binti Abu Bakar. Mereka curhat dan berkonsultasi kepada Nabi bahwa kehidupan mereka masih normal seperti sediakala. Saling berkunjung. Saling memberi makanan. Saling berbagi. Saling memberikan kesempatan dalam bekerja. “Ibuku adalah perempuan yang penyayang, akan tetapi ibuku musyrikah (perempuan yang menyekutukan Allah). Apakah aku masih boleh bersilaturahim, saling berkunjung, dan berbagi dengannya?”

Nabi Muhammad SAW menjawab, “Sambunglah silaturahimmu, tali kasihmu bersama ibumu”. Nabi memerintahkan agar orang-orang Muslim menyambung tali kasih, silaturahim, dan saling berbagi makanan maupun pekerjaan, dengan orang-orang non-Muslim.

Kisah ketersalingan antara umat Islam dan non-Muslim dalam panggung sejarah teramat jelas. Umat Islam awal pernah mendapatkan pertolongan ketika hijrah pertama dari Makkah ke Habasyah (Ethiopia), yang rajanya bernama An-Najasy beragama Kristen. Sang raja memberikan suaka politik, tanah, tempat tinggal, dan memberikan kesempatan bagi umat Islam hidup dan mengais rezeki. 

Pun, Nabi Muhammad SAW bersama pemuka agama lain menyusun Mitsaq al-Madinah untuk kehidupan bersama semua agama dan keyakinan di Madinah; menyuapi makanan setiap hari kepada orang Yahudi buta yang saban hari mengumpat dan mencaci makinya; kerja sama perdagangan dengan orang-orang non-Muslim, berdiri sebagai tanda hormat di saat janazah non-Muslim sedang diangkat melewati halaman rumahnya, dll.

Saya menjadi ingat dalam sebuah kisah di kitab kuning bahwa ada seorang yang baik hati memberikan makanan dan minuman kepada seekor anjing yang sedang kehausan dan kelaparan. Konon, ia masuk surga. Mungkin kisah ini fiksi, tetapi mengandung nilai dan pesan moral agar manusia memberi pertolongan dan berbagi kepada nyawa yang membutuhkan. Apalagi yang membutuhkan adalah manusia, makhluk yang dimuliakan Allah (QS al-Isra:70).

Mungkin di setiap hari Natal tiba, pada Desember, pro dan kontra mengucapkan selamat Natal di antara umat Islam selalu muncul. Ada yang membolehkan mengucapkan Natal, dan ada yang tidak membolehkan. Sebagian yang pro, ada yang sungguh-sungguh mengucapkannya sesuai laku sosial keseharian, ada yang copy paste ucapan Natal, dan mungkin juga senang karena bisa belanja ke mal yang diskonnya gede-gedean?

Ada yang bersifat teologis karena memang dalam Islam dibolehkan mengucapkan selamat Natal. Ada yang bersifat humanis karena memang sesama umat manusia harus saling menghormati. Ada yang bersifat ekonomis karena di hari Natal ada diskon besar-besaran sebagaimana menjelang hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. 

Dalam kehidupan sehari-hari, kerja-kerja nyata antar manusia, antar pemeluk agama yang berbeda, adalah yang relevan dan maslahat dibutuhkan peradaban manusia: tolong menolong, gotong-royong, bahu-membahu, bekerja sama, saling memberi kesempatan, menjalin silaturahim, dan mengokohkan solidaritas serta persatuan antar Muslim dan non-Muslim.

Kerja-kerja nyata lintas agama ini sebentuk kerapatan sosial yang melampui kata-kata. Meski fisik kita tidak boleh rapat—malahan harus jaga jarak—akan tetapi komitmen kita pada hal-hal yang strategis dan maslahat bagi kehidupan bersama harus terus dirapatkan.

Pemandangan sosial yang sedap, kita saksikan seorang Habib Hasan Mulachela di Solo berbagi sembako dan Rp 100 ribu kepada fakir miskin yang Nasrani dan tentu juga yang Islam. “Sampeyan beragama Nasrani nggih, besok Natalan? Ini saya kasih sembako dan uang Rp 100 ribu. Kita sesama makhuknya Tuhan, kita bersaudara, kita harus berbagi.”

Pembagian sembako ini bertujuan berbagi di saat Covid-19 yang semakin mengganas. Kita melihat LPBI-NU Satgas Covid-19 dan LPB Muhammadiyah membantu penyemprotan disinfektan di gereja. Inilah kerapatan sosial yang melampui kata-kata, dan sebentuk toleransi yang koeksistensi dan proeksistensi.

Kerapatan sosial dibutuhkan di saat pandemi Covid-19, dengan merapatkan persatuan, gotong royong, dan solidaritas seluruh umat manusia, seluruh rakyat Indonesia. Yang perlu kita tanamkan dalam kesadaran kolektif saat ini, seluruh umat manusia, seluruh rakyat Indonesia, sedang menghadapi bersama-sama Covid-19. Dengan harapan dan optimisme kuat, kita sebagai pemenang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement