Kamis 24 Dec 2020 05:14 WIB

Menjaga Harkat dan Martabat Peradilan

Dunia peradilan kembali menjadi perhatian karena terbitnya Perma No.5 Tahun 2020

Gerbang Mahkamah Agung. (Ilustrasi)
Foto:

Oleh : Ridwan Thalib, Pengacara

Transpransi Lembaga Peradilan

Sudah sepatutnya kita bersikap adil dalam memberikan kritik. Dalam suatu proses peradilan, seorang saksi dicatat dan direkam keterangannya oleh panitera pengganti. Selain itu, agenda dan jalannya persidangan dapat diikuti melalui aplikasi sipp (website) pengadilan, sehingga publik dapat datang setiap saat untuk menghadiri proses sidang. Toh Perma No. 5 Tahun 2020 tidak melarang kunjungan publik terhadap jalannya sidang karena prinsip sidang terbuka untuk umum tetap terjaga dan tidak diubah melalui Perma ini. 

Dokumentasi dan bukti masuk dalam daftar bukti dan terekam di salinan putusan yang juga akan dapat diakses publik melalui website putusan Mahkamah Agung. Melihat proses – proses diatas, tampaknya Perma No. 5/2020 sama sekali tidak menghilangkan transparansi dan keterbukaan informasi di ranah yudikatif. Perma ini malah memperkuat wibawa lembaga peradilan dan memberikan perlindungan bagi para saksi. 

Justru menjadi pertanyaan bagi penulis apakah alasan dan motif sebenarnya dari para pengkritik Perma No. 5/2020 ini. Apakah dengan begini banyak pihak tidak lagi dapat melakukan rekaman liar untuk menyandera pihak yang bersidang ataupun menyudutkan majelis hakim? Informasi apakah yang ingin dicari dari merekam jalannya persidangan tanpa tujuan yang jelas dan tanpa izin ketua majelis sidang? Keterangan saksi ada di berita acara persidangan, daftar bukti ada pula di putusan yang di publish di website, pun apabila memang menginginkan detail jalannya sidang, publik bisa melihat dan ikut terlibat dari hari pertama pembukaan sidang sampai pembacaan putusan. 

Sebuah anggapan yang salah untuk mengaitkan Perma No.5/2020 dengan menjamurnya mafia peradilan. Justru hari ini yudikatif (PN Jaktim) menunjukan independensinya dengan memberikan vonis dalam perkara Djoko Tjandra (dan kawan – kawan) lebih dari apa yang dituntut oleh JPU (jaksa). Pengadilan tetap menjaga kredibilitasnya saat lembaga lain disinyalir terlibat proses manipulasi hukum. 

Saat seorang Djoko Tjandra “mengatur” surat jalan untuk kembali ke Indonesia dan dibantu olehoknum di kejaksaan dan di kepolisian agar dapat mengajukan PK atas vonisnya, PN Jaksel dengan berani menolak permohonan pengiriman berkas PK tersebut. 

Sementara di Jakarta Timur, saat JPUmemberikan tuntutanyang sedemikian rupa, PN Jaktim dengan berani memberikan vonis yang lebih tinggi. Suatu pesan bagi masyarakat bahwa harapan keadilan dan kepastian hukum itu masih ada dan akan tetap dijaga oleh para hakim di republik ini. 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement