Kamis 24 Dec 2020 00:02 WIB

Mempertanyakan Netralitas Autopsi Jenazah Enam Laskar FPI

Perhimpunan Dokter Forensik menilai autopsi enam jenazah laskar FPI tak netral.

Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu telah selesai diautopsi dan telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mobil ambulans yang membawa jenazah laskar FPI saat akan meninggalkan RS Polri Kramat Jati di Jakarta, Selasa (8/12). Jenazah laskar FPI yang ditembak di Tol Jakarta-Cikampek itu telah selesai diautopsi dan telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk dibawa ke rumah duka. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Ali Mansur, Dian Fath Risalah

Baca Juga

Autopsi enam jenazah laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dilakukan oleh tim dokter forensik di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, dianggap tak netral. Selain karena tak ada izin dari pihak-pihak keluarga, pemeriksaan jasad-jasad korban penembakan polisi di tol Japek Km 50 tersebut, berpotensi menghasilkan kesimpulan yang bias, dan melanggar prinsip-prinsip etika forensik.

Ketua Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Jawa Barat, Dr Chevi Sayusman menerangkan, autopsi, atau pemeriksaan jasad mati, adalah sarana ilmiah dalam sistem investigasi kematian. Dikatakannya, autopsi dalam investigasi kematian tak sama dengan proses penegakan hukum. Bahkan, kata dia, otopsi dalam investigasi kematian, diharuskan terpisah dengan proses penegakan hukum.

Meksipun menurutnya, dalam proses penegakan hukum suatu kematian, membutuhkan kesimpulan dari hasil autopsi, yang menguak ilmiah penyebab pasti tubuh hilang nyawa. “Dalam text book, atau kitab suci forensik itu dikatakan, bahwa tujuan adanya sistem investigasi kematian, untuk memisahkan investigasi kematian dari penegak hukum. Dalam hal ini, polisi,” kata Chevi, dalam diskusi daring ‘Kupas Tuntas Otopsi Forensik’, Rabu (23/12).

Chevi, merupakan dokter forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Dalam diskusi tersebut, ia menilai autopsi yang dilakukan terhadap enam jenazah laskar FPI korban penembakan polisi di Tol Japek Km 50, berpotensi tak netral. Bukan karena hanya tak adanya izin dari pihak keluarga korban, autopsi tersebut, pun dilakukan oleh tim forensik rumah sakit yang berada di bawah institusi Polri, sebagai pihak yang terlibat penembakan.

“Dalam kasus ini, kan ada kaitannya dengan institusi kepolisian. Konflik kepentingannya, tentu ada di kepolisian,” kata dia.

Menurut Chevi, semestinya kepolisian dapat meminta izin dari keluarga untuk tetap dapat dilakukan autopsi. Akan tetapi dengan menawarkan otopsi dilakukan oleh tim forensik yang disetujui oleh pihak keluarga.

“Seharusnya, investigator untuk melakukan otopsi ini, seharusnya dari pihak yang netral. Dalam hal ini, mungkin otoritas yang disetujui oleh keluarga. Seharusnya seperti itu. Dari sisi prinsip, sisi etika, dari sisi aturan seharusnya itu yang dikedepankan,” kata Chevi.

Karena menurut dia, selain melanggar prinsip profesionalitas forensik, autopsi yang dilakukan otoritas terlibat kematian tersebut, akan menghasilkan kesimpulan yang berpotensi bias. “Karena, yang paling dirugikan dalam kasus ini, tentu saja polisi sendiri. Artinya, akan ada kecurigaan, dan ada dugaan,” ujar dia. Chevi mencontohkan, penegakan hukum atas kematian dari malpraktik rumah sakit.

Menurutnya, etika dan prinsip forensik, memastikan autopsi dilakukan oleh tim di luar otoritas rumah sakit yang diduga melakukan malpraktik tersebut. “Kalau yang memeriksanya (autopsi) adalah pihak rumah sakit itu sendiri, bagaimana bisa dipercaya oleh pihak lainnya,” kata Chevi.

Sebab itu, ia menyarankan, agar dalam penegakan hukum atas satu kematian yang membutuhkan kesimpulan ahli autopsi, seharusnya dengan mengandalkan investigator penyebab kematian, yang tak ada kaitannya dengan otoritas penegakan hukum.

Enam anggota laskar FPI ditembak mati oleh anggota kepolisian di tol Japek Km 50, saat menghalau upaya pengintaian Habib Rizieq Shihab, Senin (7/12) dini hari. Sekretaris Umum DPP FPI Munarman pernah mengatakan, dari hasil observasi jenazah langsung saat dimandikan, terdapat ada 19 luka lubang yang diduga bekas peluru tajam pada semua jenazah.

“Luka tembaknya ini, semua mengarah ke bagian jantung korban. Dan lebih dari satu tembakan. Satu orang minimal dua tembakan. Ada yang tiga, ada yang empat tembakan. Dan semua tembakan itu, setelah kita lihat secara fisiknya, kita melihat di bagian dada, di jantung,” kata Munarman.

Tak cuma bekas lubang peluru. Munarman juga mengatakan, kondisi enam jenazah yang tampak mengalami lebam-lebam yang diduga bekas penyiksaan. Seperti terkelupasnya lapisan kulit, dan pembengkakan di bagian kemaluan, dan wajah beberapa jenazah.

Keenam jenazah korban penembakan tersebut, setelah insiden, sempat dibawa ke RS Polri, Kramat Jati. Pihak keluarga tak diizinkan mengambil langsung enam jenazah itu lantaran kepolisian menghendaki autopsi. Akan tetapi, keluarga tak memberikan izin.

Namun kepolisian, tetap meminta tim forensik RS Polri melakukan otopsi. Setelah tim dokter forensik kepolisian melakukan otopsi, pada Selasa (8/12) malam, pihak keluarga baru dibolehkan membawa pulang jenazah, untuk dimakamkan pada Rabu (9/12).

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, Brigjen Andi Rian Rabu (9/12) pernah menjelaskan, autopsi enam jenazah laskar FPI di RS Polri, tetap dilakukan meskipun tanpa izin keluarga. Karena menurut dia, autopsi tersebut, dilakukan untuk proses penyelidikan, dan penyidikan insiden penembakan tersebut.

Andi Rian meyakinkan, penyidikan diperlukan karena penembakan yang dilakukan anggota kepolisian, atas respons serangan yang dilakukan laskar FPI. Menurut Andi, para laskar pengawal Habib Rizieq, sebelum aksi mematikan itu, melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata tajam dan senjata api terhadap anggota kepolisian.

"Proses visum dan autopsi dilaksanakan sesuai ketentuan dan SOP oleh dokter forensik RS Polri Kramat Jati. Itu dilakukan jelas untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (9/12).

Dugaan serangan terhadap anggota kepolisian tersebut, yang menurut Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo, dikuatkan dengan hasil autopsi RS Polri atas temuan jelaga bubuk mesiu yang beserak di tangan beberapa jenazah.

“Ditemukan penggunaan senjata api dengan didapat jelaga di tangan pelaku (jenazah laskar FPI),” kata Listyo Sigit, Kamis (10/12).

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pekan lalu menyatakan, akan meminta keterangan dari Kabareskrim terkait autopsi enam jenazah laskar FPI. Dokter yang melakukan autopsi juga dipanggil

"Tim Penyelidikan Komnas HAM RI hari ini telah melayangkan surat panggilan kepada Kabareskrim Mabes Polri untuk meminta keterangan tambahan terkait proses autopsi," ujar Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (16/12).

Sehari kemudian, Anam mengungkap ada perbedaan keterangan anggota keluarga dengan pihak dokter yang melakukan autopsi terhadap enam jenazah anggota laskar FPI. Anam menyebut, perbedaan itu berkaitan dengan kondisi jenazah yang diterima keluarga dengan kondisi saat diautopsi dokter.

"Salah satunya jamnya, tubuhnya. Jadi kalau misalnya jamnya antara mayat, atau jenazah yang umurnya satu jam dengan yang umurnya satu hari pasti jenazahnya berbeda, posisinya berbeda, apakah sudah keluar lebam mayat ataukah tidak pasti berbeda," terang Anam.

Kedua, terkait kondisi tubuh. Bila di dalam tubuh terdapat banyak kandungan makanan tertentu yang mempengaruhi nutrisi, gizi, situasi, alam dan sebagainya itu akan memengaruhi model dan perubahan-perubahan di jenazah.

"Oleh karenanya memang kalau ditanya apakah ada perbedaan antara satu dengan yang lain, harusnya berbeda, kalau tidak berbeda malah aneh," tutur Anam.

photo
Pasal yang Menjerat Habib Rizieq - (republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement