Rabu 23 Dec 2020 15:48 WIB

 2005-2020: 426 Kepala Daerah Terlibat Kasus Hukum

Kepala daerah yang terlibat kasus hukum terakhir ialah Bupati Banggai Laut Wenny B.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan
Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kemdagri, Djohermansyah Djohan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Institut Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan mencatat, sebanyak 426 kepala daerah maupun wakil kepala daerah terlibat dalam kasus hukum sepanjang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung sejak 2005 sampai 2020. Jumlah ini dicatat berdasarkan kasus hukum yang diproses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, maupun kejaksaan.

"Totalnya 426 kepala daerah dan wakil, atau 78,5 persen dari jumlah daerah otonom kita (542 daerah otonom)," ujar Djohermansyah dalam diskusi daring, Rabu (23/12)

Dia mengatakan, sejauh ini, kepala daerah yang terlibat kasus hukum terakhir ialah Bupati Banggai Laut Wenny Bukamo, yang terjaring operasi tangkap tangan KPK. Wenny diduga menerima suap terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah kabupaten Banggai Laut dan hasil uang suap itu diduga digunakan untuk keperluan dana kampanye Wenny Bukamo di pemilihan bupati Banggai Laut tahun 2020 sebagai petahana.

Menurut Djohermansyah, dengan banyaknya kepala daerah yang berakhir di balik jeruji besi, maka pelaksanaan pilkada langsung tidak maksimal. Jika dibandingkan dengan kepala daerah hasil pemilihan langsung yang berhasil dipercaya menjabat posisi lebih tinggi di pemerintagan.

Misalnya, mantan Wali Kota Solo Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap berhasil di pemerintahan karena pernah menjabat gubernur DKI Jakarta hingga kini menjadi presiden Indonesia dua periode. Kemudian ada mantan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo yang diangkat menjadi menteri pertanian dan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang dilantik menjadi menteri sosial hari ini.

Djohermansyah mengatakan, keberhasilan kepala daerah ini hanya sekitar lima persen sejak pilkada langsung pertama kali digelar pada Juni 2015. Menurutnya, permasalahan penyelenggaraan pilkada pun malah makin menjadi-jadi, mulai dari tingginya biaya kandidat kepala daerah, politisasi birokrasi, maraknya politik dinasti/politik kekerabatan, hingga meningkatnya calon tunggal.

Dia menyoroti, temuan KPK yang menyebutkan sumber dana calon kepala daerah untuk pilkada lebih banyak dari investor politik atau cukong yaitu sekitar 82 persen. Dia mengkhawatirkan, jika roda pemerintahan daerah dijalankan oleh kepala daerah terpilih yang didanai para cukong, karena potensi penyalahgunaan kekuasaan sebagai upaya mengembalikan uang para cukong tersebut.

"Jadi ini betul-betul sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan pemerintahan daerah nanti kalau dimenangkan pilkadanya oleh si calon yanh didanai pilkadanya oleh para cukong," kata Djohermansyah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement