Rabu 23 Dec 2020 01:16 WIB

Pelaku Usaha Sayangkan Keputusan Mendadak Rapid Antigen

Syarat rapid test antigen dapat dinilai mengurangi jumlah wisatawan yang berlibur

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Gerbang detektor suhu tubuh pengunjung di pasang di jalur pedestrian Malioboro, Yogyakarta, Kamis (10/12). Pemasangan detektor suhu otomatis ini untuk memantau kondisi pengunjung saat berwisata di Malioboro. Selain 30 detektor suhu, juga ada 34 tempat cuci tangan tanpa sentuh. Fasilitas ini untuk memberikan kenyamanan di Malioboro sekaligus mengurangi risiko penularan Covid-19.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Gerbang detektor suhu tubuh pengunjung di pasang di jalur pedestrian Malioboro, Yogyakarta, Kamis (10/12). Pemasangan detektor suhu otomatis ini untuk memantau kondisi pengunjung saat berwisata di Malioboro. Selain 30 detektor suhu, juga ada 34 tempat cuci tangan tanpa sentuh. Fasilitas ini untuk memberikan kenyamanan di Malioboro sekaligus mengurangi risiko penularan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Pelaku usaha di Kota Yogyakarta menyayangkan kebijakan dari pemerintah terkait kewajiban pelaku perjalanan melakukan rapid test antigen untuk libur akhir tahun. Mereka kecewa karena kebijakan tersebut dinilai ditetapkan secara mendadak.

“Bagaimana pun juga pelaku usaha sangat terkejut dan kecewa. Kebijakan tersebut mau tidak mau akan menurunkan jumlah wisatawan yang datang ke Yogyakarta pada libur akhir tahun,” kata Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Yogyakarta Aji Karnanto di Yogyakarta, Selasa.

Baca Juga

Menurut dia, banyak pelaku usaha terutama di bidang jasa pariwisata yang sudah terlanjur merasa senang dengan datangnya libur akhir tahun. Mereka berharap akan banyak wisatawan yang datang sehingga bisnis yang lesu selama pandemi bisa sedikit membaik.

Tidak sedikit pelaku usaha jasa pariwisata sudah mengeluarkan banyak biaya untuk mempersiapkan datangnya libur akhir tahun, seperti belanja bahan makanan. Namun mereka harus kembali gigit jari karena pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan yang mendadak terkait kewajiban pelaku perjalanan harus mengantongi hasil nonreaktif dari rapid test antigen.

“Kalau rapid test antibodi, saya yakin wisatawan dari luar daerah sudah pasti membawanya. Namun untuk rapid test antigen akan membuat wisatawan berpikir berkali-kali lipat untuk berwisata,” katanya.

Ia mengatakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengakses rapid test antigen bisa tiga kali lebih mahal jika dibanding rapid test antibodi. “Masa berlakunya pun hanya 3x24 jam,” katanya.

Selain itu, lanjut dia, jumlah fasilitas layanan kesehatan yang menyediakan rapid test antigen tidak terlalu banyak sehingga menyulitkan wisatawan untuk mengaksesnya.

“Dampak dari kebijakan rapid test antigen ini tidak hanya dirasakan oleh hotel saja tetapi juga oleh biro perjalanan, restoran, dan banyak sektor lain yang akan terdampak,” kata Aji.

Pelaku usaha tidak bisa berbuat banyak dengan kebijakan tersebut selain mengikuti aturan dari pemerintah sebagai upaya pencegahan meluasnya penularan Covid-19. “Kami hanya berharap agar kebijakan-kebijakan seperti ini tidak dikeluarkan mendadak. Supaya teman-teman pelaku usaha juga lebih siap karena tidak ada yang tahu sampai kapan pandemi ini akan berakhir,” jelasnya.

Ketua DPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Pranawa Eryana mengatakan pelaku usaha hotel dan restoran sudah bersungguh-sungguh menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19.

“Kami sudah susah payah melakukan verifikasi dan sertifikasi CHSE tetapi tiba-tiba ada kebijakan seperti ini. Tentu saja apa yang sudah kami lakukan sepertinya menjadi sia-sia,” katanya.

Ia pun berharap pemerintah menjaga komitmen upaya pemulihan ekonomi dijalankan bersama-sama secara seimbang dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. “Padahal banyak pelaku usaha hotel yang berharap bisa sedikit menutup biaya operasional dengan libur panjang Desember ini. Ternyata harapan ini tidak akan terwujud,” kata Deddy.

Dia menyebut reservasi hotel pada libur tahun baru semakin berkurang menjadi sekitar lima persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement