Selasa 22 Dec 2020 07:30 WIB

RI Bisa Jadi Produsen Udang Budi Daya Terbesar di Dunia

Permintaan dan harga udang di dalam maupun luar negeri akan makin meningkat.

Seorang petambak melakukan panen perdana budidaya udang vaname dengan teknologi semi intensif skala rumah tangga binaan YKAN di area tambak Kelurahan Mangunharjo, Tugu, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (22/9/2020). Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) melalui program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) berupaya meningkatkan mata pencaharian masyarakat dan ketahanan pesisir setempat diantaranya dengan melakukan penyuluhan serta pendampingan sejumlah kelompok petambak dalam mengembangkan budidaya perikanan air payau agar hasil panen meningkat.
Foto: Antara/Aji Styawan
Seorang petambak melakukan panen perdana budidaya udang vaname dengan teknologi semi intensif skala rumah tangga binaan YKAN di area tambak Kelurahan Mangunharjo, Tugu, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (22/9/2020). Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) melalui program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) berupaya meningkatkan mata pencaharian masyarakat dan ketahanan pesisir setempat diantaranya dengan melakukan penyuluhan serta pendampingan sejumlah kelompok petambak dalam mengembangkan budidaya perikanan air payau agar hasil panen meningkat.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS mengatakan bisnis udang makin menjanjikan. “Dalam tiga  dekade terakhir, permintaan dan harga udang baik di pasar global (ekspor) maupun dalam negeri (domestik) relatif stabil dan diperkirakan akan terus meningkat di masa depan,” kata Prof Rokhmin Dahuri pada acara Konsolidasi dan Akselerasi Pengembangan Produksi Industri Udang 2021-2025 Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi di Bogor, Senin (21/12).

Ia menambahkan, dengan sekitar 99.000 km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), Indonesia memiliki potensi lahan tambak dan produksi udang budidaya terluas (3 juta ha) dan terbesar di dunia.  Namun,  kata dia, hingga 2018 produksi udang budidaya Indonesia hanya 907.998 ton (versi KKP) atau 450.000 ton (versi SCI dan GPMT). 

Padahal, China dengan 14.500 garis pantai dan Vietnam dengan 3.444 km garis pantai masing-masing memproduksi sekitar 2 juta ton dan 775.000 ton. “Artinya, peluang Indonesia menjadi produsen udang budidaya terbesar di dunia sangatlah besar,” ujarnya.

photo
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS (Foto: Dok RD Institute)

Prof Rokhmin menyebutkan, kemampuan teknis bangsa Indonesia tentang budidaya udang termasuk salah satu yang terbaik di dunia, terbukti Indonesia sebagai salah satu top five (5) produsen udang dunia. Sejak 2016, Indonesia menjadi produsen budidaya udang terbesar ke-2 di dunia. 

 

“Peluang pengembangan lahan untuk kegiatan budidaya tambak udang di Indonesia masih sangat leluasa,” kata Prof Rokhmin yang juga ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI).

Ia memaparkan, sejak 1990-an, komoditas dan produk olahan udang, terutama dari perikanan budidaya (aquaculture), merupakan penyumbang terbesar (35 persen = 1,7 miliar dolar AS) terhadap total nilai ekspor perikanan Indonesia (4,94 miliar dolar AS). “Periode 2015-2019, sebagian besar ekspor udang Indonesia ditujukan ke Amerika Serikat, disusul Jepang dan Tiongkok,” tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Menurut Rokhmin, budidaya udang menjadi solusi atas berbagai permasalahan.  “Usaha budidaya udang sangat menguntungkan (highly profitable), dengan keuntungan bersih (net profit) sekitar Rp 20 juta – Rp 45 juta (rata-rata Rp 22 juta)/ha/bulan). Ini merupakan solusi atasi kemiskinan,” ujarnya. 

Budidaya udang menyerap banyak tenaga kerja, yakni  1 – 4 orang/ha (on-farm) dan 4 orang/ha (off-farm: industri serta  jasa hulu dan hilir).  “Ini jadi olusi atasi pengangguran,” kata Rokhmin yang juga ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara).

Budidaya udang menciptakan nilai tambah dan multiplier effects sangat besar. “Ini solusi pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19,” paparnya.

Sebagian besar lokasi kegiatan di wilayah pesisir, pedesaan, dan luar Jawa. “Ini solusi masalah disparitas pembangunan antarwilayah,” tegasnya.

Menurut dia, dengan aplikasi inovasi IPTEKS dan manajemen secara tepat dan benar, pembangunan dan bisnis budidaya udang akan sustainable. “Ini membantu transformasi struktur ekonomi nasional,” kata Rokhmin yang juga  koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – 2024.

Namun, ia mengemukakan, industri budidaya udang nasional masih menghadapi sejumlah permasalahan dan tantangan. “Baik yang sifatnya subsitem pra-produksi, subsistem produksi on-farm,subsitem processing and marketing (hilir), maupun kebijakan politik ekonomi (faktor eksternal),” ujarnya.

Salah satu contohnya, pada umumnya Pemerintah (Pemda) belum menganggap usaha tambak udang sebagai sektor unggulan (leading sector, prime mover).  Sehingga, dalam RTRW  (rencana tata ruang wilayah) sering tergeser oleh sektor lain (seperti industri manufaktur, pariwisata, pemukiman, business center, dan ESDM).

Selain itu, sebagian besar (80 persen) usaha tambak udang bersifat tradisional dan skala kecil,  tidak memenuhi skala ekonomi, dan tidak menerapkan Best Aquaculture Practices. “Di samping itu, kemungkinan penurunan kualitas udang: dari panen, keluar dari lokasi tambak, dibawa oleh supplier (pedagang perantara/pengepul) hingga sampai di  pabrik (industri) pengolahan udang,” paparnya.

photo
Suasana Konsolidasi dan Akselerasi Pengembangan Produksi Industri Udang 2021-2025 Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi di Bogor, Senin (21/12).  (Foto: Dok RD Institute)

Rokhmin lalu menguraikan berbagai langkah yang perlu ditempuh untuk mewujudkan Indonesia sebagai produsen dan pengekspor udang terbesar di dunia. Salah satu di antaranya  program revitalisasi tambak udang. Termasuk ke dalamnya program ekstensifikasi tambak udang model klaster di  daerah (kawasan) relatif terpencil (remote areas), program ekstensifikasi tambak udang model mandiri, program ekstensifikasi tambak udang klaster kolam bulat berbasis masyarakat, serta model klaster budidaya udang rakyat untuk generasi milenial.

Hal lain yang juga sangat penting, menurut Rokhmin adalah kebijakan politik ekonomi yang kondusif. “Tambak udang harus masuk sebagai sektor unggulan (strategis) nasional dalam RTRW dan RZWP3K. Kemudian permudah, percepat, dan permurah perizinan usaha. Juga, program kredit khusus dengan bunga 7 persen  dan persyaratan relatif lunak.  Tidak kalah pentingnya adalah penciptaan iklim investasi dan kemudahan berbisnis yang kondusif,” ujarnya.

Di akhir uraiannya, Rokhmin menjelaskan tentang Indonesia Aquaculture Incorporated sebagai jalan menuju Indonesia sebagai produsen dan pengekspor udang terbesar di dunia. “Indonesia Aquaculture Incorporated adalah etiap komponen dalam sistem usaha budidaya udang (seperti pengusaha hatchery, pakan, petambak, suppliers,  processor, traders, pemerintah, asosiasi, peneliti dan dosen) harus mengeluarkan (menyumbangkan) kemampuan terbaiknya, sehingga menghasilkan output akuakultur yang berdaya saing tinggi (QCD) secara berkelanjutan. Selain itu, antar komponen sistem usaha budidaya udang harus solid, care and share, strengthening to each other, dan bekerja  sama secara sinergis,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement