Senin 21 Dec 2020 18:26 WIB

Resesi tak Bisa Dihindari, Stimulus Dorong Pemulihan Ekonomi

Stimulus itu di antaranya belanja kesehatan dan bantuan langsung tunai.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Pemerintah mengungkapkan pandemi Covid-19 membawa dampak yang dalam bagi perekonomian dunia. Berdasarkan OECD pertumbuhan ekonomi dunia bisa minus 4,2 persen, proyeksi IMF pertumbuhan ekonomi dunia minus 4,4 persen dan prediksi Bank Dunia minus 5,2 persen.
Foto: Dhemas Reviyanto/ANTARA
Pemerintah mengungkapkan pandemi Covid-19 membawa dampak yang dalam bagi perekonomian dunia. Berdasarkan OECD pertumbuhan ekonomi dunia bisa minus 4,2 persen, proyeksi IMF pertumbuhan ekonomi dunia minus 4,4 persen dan prediksi Bank Dunia minus 5,2 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengungkapkan pandemi Covid-19 membawa dampak yang dalam bagi perekonomian dunia. Berdasarkan OECD pertumbuhan ekonomi dunia bisa minus 4,2 persen, proyeksi IMF pertumbuhan ekonomi dunia minus 4,4 persen dan prediksi Bank Dunia minus 5,2 persen. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan jika pertumbuhan ekonomi dunia yang minus tersebut terjadi maka resesi tak bisa terhindarkan. 

Baca Juga

“Pada 2020 menurut OECD growth akan mencapai minus 4,2 persen. Ini berarti resesi yang cukup dalam atau sangat dalam, bahkan jika dibandingkan pada saat guncangan global ekonomi pada saat financial crisis 2008-2009,” ujarnya saat konferensi pers virtual, Senin (21/12)

Kemudian pada tahun depan, lembaga internasional juga merevisi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia 4,2 persen, IMF memprediksi 5,2 persen, dan Bank Dunia memprediksi ekonomi dunia tumbuh 4,2 persen.

“Pada 2021 lembaga-lembaga ini melakukan juga revisi terhadap proses pemulihan,” ucapnya.

Sementara Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menambahkan pertumbuhan ekonomi akan minus tiga persen pada akhir tahun ini. Setidaknya ada tiga stimulus yang perlu dilakukan pemerintah untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi pada tahun depan.

“Pertama belanja sektor kesehatan, tahun depan berkurang drastis padahal ada kebutuhan untuk vaksin. Minimum vaksin bagi 70 persen penduduk maka minimum butuh anggaran Rp 70 triliun, ini harus diprioritaskan. Nah ini bisa diambil dari belanja infrastruktur, belanja pegawai, belanja rutin bisa digeser dari situ,” ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id.

Menurutnya belanja kesehatan penting karena beberapa negara sudah mengalami fase gelombang kedua penularan Covid-19. Hal yang dikhawatirkan jika Indonesia ikut memasuki gelombang kedua penularan Covid-19.

“Ditakutkan gelombang satu belum selesai ditakutkan gelombang kedua akan muncul penularan, sementara distribusi vaksin masih perlu waktu, sehingga spending dana kesehatan yang lebih besar,” ucapnya.

Kedua belanja perlindungan sosial, menurutnya, pengusaha butuh waktu bagi mereka yang pengangguran sedangkan saat ini kelas menengah yang jatuh ke orang miskin justru meningkat.

“Angka kemiskinan akan tinggi, pengangguran juga harapannya bisa diimbangi dengan belanja perlindungan sosial khusus yang pengawasannya mudah dan efektif yaitu belanja konsep transfer tunai, bukan dalam bentuk barang atau sembako,” ucapnya.

Ketiga stimulus bagi pelaku usaha UMKM, menurut Bhima bantuan langsung tunai (BLT) bagi UMKM sudah cukup bagus tapi stimulus sebenarnya yang dibutuhkan UMKM pendampingan.

“Sekarang paling booming UMKM masuk platform digital ke e-commerce bukan hanya transfer tunai dan pendamping si penerima bantuan, sehingga bisa masuk ke dalam ekonomi digital, itu jalan mencapai tujuan pemulihan ekonomi,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement